PR Pasca Eksekusi Amrozi, dkk.


Proses hukum dalam penyelesaian kasus Bom Bali I boleh dibilang selesai. Para pelakunya telah ditangkap, diadili bahkan ada yang telah dieksekusi mati. Namun, pasca eksekusi Amrozi, dkk. banyak pihak yang mencoba mengeruk keuntungan dengan gencarnya pemberitaan media terhadap peristiwa ini. Pihak yang sejak awal mengklaim dirinya moderat dan inklusif menjadikan peristiwa ini sebagai senjata untuk menyudutkan kelompok lain yang dicap radikal, ekstrim dan eksklusif.

Ada yang mengatakan, bahwa radikalisme dan terorisme tidak pernah mati dengan dieksekusinya Amrozi, dkk. Bahkan, ada yang mengatakan, Amrozi, dkk. justru akan menjadi martir yang akan memicu aksi-aksi terorisme baru. Karena itu ada yang menyarankan agar pemerintah juga lebih serius mengatasi berbagai persoalan potensial yang bisa menumbuh-suburkan radikalisme. Di sisi lain, upaya untuk mereduksi makna jihad terus dilakukan. Sampai ada yang menyatakan, bahwa jihad itu bukan perang, tetapi mengentas kemiskinan, kebodohan dan sejenisnya itulah jihad yang sesungguhnya. Selain itu, stigmatisasi juga terus-menerus dilakukan. Seolah-olah jihad, dengan konotasi perang, identik dengan radikalisme dan terorisme.

Jika semuanya ini tidak dijelaskan, dijernihkan dan didudukkan secara proporsional, maka sekali lagi umat Islam akan menjadi korban. Korban penyesatan intelektual (tadhlil fikri) dan penyesatan politik (tadhlil siyasi). Targetnya adalah melemahkan kekuatan umat Islam. Jika demikian, siapa yang diuntungkan? Tentu bukan Islam dan umatnya, melainkan kaum Kafir penjajah. Karena dengan cara seperti itulah, ajaran Islam akan ditinggalkan oleh umatnya. Setelah itu, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah dijajah. Tetapi, sayang justru banyak politikus dan tokoh Muslim yang memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan mereka sendiri. Seolah mereka tidak peduli dengan kondisi Islam dan umatnya. Atau mungkin, menurut mereka, mereka justru peduli, namun sayang mereka sudah terjebak dalam kerangka (mindset) yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum Kafir penjajah.

Karena itu, kita harus jujur dan amanah dalam menyampaikan Islam. Jika tidak, sama saja dengan mengkhianati Allah, Rasul dan seluruh umat Islam. Memang benar, bahwa jihad, menurut bahasa adalah bekerja keras atau bersungguh-sungguh. Tetapi, dalam istilah syariah, jihad didefinisikan oleh para ulama’ fikih dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik dengan harta, jiwa, raga maupun pikiran, dan baik secara langsung maupun tidak. Itulah pengertian jihad yang disepakati oleh para ulama’, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii maupun Hanbali. Oleh karena itu, memaknai jihad dengan bekerja keras, bersungguh-sungguh, atau mengalihkan maknanya dari makna asalnya, yaitu mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, dengan mengentas kemiskinan, kebodohan dan sebagainya jelas merupakan bentuk penyesatan intelektual (tadhlil fikri). Tindakan seperti ini, dalam pandangan Islam, merupakan tindakan kriminal (jarimah).

Karena dampak dari tindakan tersebut akan menyebabkan umat Islam meninggalkan ajaran Islam yang oleh baginda Nabi saw. disebut sebagai: dzarwah sanam al-Islam (ujung tombak Islam). Itulah jihad, dalam pengertian perang. Jika umat Islam sudah meninggalkannya, bahkan mungkin alergi dengan jihad, maka ketika jihad dikumandangkan, mereka bukan saja tidak melakukan hukum Islam yang agung itu, tetapi juga menolaknya, dan bahkan akan mengatakan jihad yang agung dan suci itu sebagai tindakan terorisme. Padahal, hukum wajibnya jihad adalah qath’i, dan tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Siapapun yang menolak hukum wajibnya jihad bisa dinyatakan Kafir dan keluar dari Islam. Karena menolak hukum yang qath’i. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengaitkan jihad dengan terorisme juga harus ditolak. Pengaitan jihad dengan terorisme jelas berbahaya, dan ini merupakan penyesatan politik (tadhlil siyasi). Tentu, ini juga merupakan tindakan kriminal yang luar biasa (jarimah kubra).

Namun, kita juga harus jujur dan proporsional. Jihad memang bermakna perang, namun tidak semua perang identik dengan jihad. Berperang melawan bughat, berperang melawan teroris, berperang membela kehormatan, berperang membela kehormatan umum masyarakat seperti amar makruf nahi munkar, perang fitnah, perang melawan perampas kekuasaan, termasuk perang untuk mendirikan negara Islam, menurut definisi jihad, tidak termasuk dalam kategori jihad. Karena itu, istilah jihad hanya digunakan dalam konteks berperang melawan orang Kafir, dalam rangka menjunjung tinggi kalimah Allah, menebarkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia. Jihad juga bukan perang demi menumpahkan darah, menjajah, merampok kekayaan alam, menodai jiwa dan kehormatan bangsa atau umat yang diperangi. Tetapi jihad adalah perang untuk menggempur dinding kekufuran, agar cahaya Islam bisa sampai kepada bangsa atau umat yang ada di dalamnya. Itupun merupakan alternatif terakhir, setelah para penguasa mereka tetap bebal, dan tidak mau menerima tawaran untuk memeluk Islam, atau tunduk kepada sistem dan pemerintahan Islam. Andai saja mereka mau masuk Islam, atau tunduk kepada sistem dan pemerintahan Islam, meski tetap memeluk agama mereka, maka terhadap mereka hukum jihad tersebut tidak akan diterapkan.

Para ulama’ juga memilah jihad menjadi dua: difa’i (defensif) dan ibtida’i (ofensif). Hukumnya juga berbeda. Ketika negeri kaum Muslim diserang, misalnya, seperti Irak, Afganistan dan Palestina, maka hukum berjihad melawan agresor adalah fardhu ain. Itulah jihad difa’i (jihad defensif). Berbeda jika umat Islam yang memulai serangan, maka hukumnya bukan fardhu ain, melainkan fardhu kifayah. Inilah yang disebut jihad ibtida’i (jihad ofensif). Hanya saja, siapa yang berhak mengumumkan perang dalam kondisi seperti ini? Dalam pandangan Islam, yang berhak hanya kepala negara, atau khalifah kaum Muslim. Bukan setiap orang atau kelompok. Jika kepala negara sudah memaklumkan jihad, maka seruan itu akan disambut oleh orang Mukmin dengan suka cita. Sebab, dengan jihad itulah mereka akan mendapatkan dua kebaikan. Jika menang, maka itu merupakan kebaikan. Jika kalah, mereka akan menjadi syuhada’, dan itu pun merupakan kebaikan.

Simaklah ucapan Rabi’ bin ‘Amr kepada Rustum, ketika ditanya ihwal motivasi pasukannya: “Allah mengirim kami. Dia memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia menuju pada penyembahan kepada Tuhannya manusia; dari kesempitan hidup menuju kelapangan hidup; dari ketidakadilan agama-agama menuju keadilan Islam. Allah mengirim kami dengan membawa agama-Nya untuk hamba-hamba-Nya, maka kami akan menyeru mereka kepada-Nya. Siapa saja yang mau menerima seruan ini dari kami, maka kami pun akan menerimanya, kembali ke negeri kami, dan meninggalkan mereka dan negeri mereka. Namun, siapapun yang menolak seruan kami, maka kami akan memerangi mereka sampai kami mendapatkan janji Allah.” Rustum bertanya: “Apa janji Allah yang kamu maksud?” Rabi’ menjawab: “Surga bagi yang mati dalam perang melawan orang-orang yang menentang, dan kemenangan bagi yang hidup.”

Itulah keagungan jihad, dan kemuliaan mujahid. Maka, upaya apapun yang bertujuan untuk mereduksi, memalingkan dan menstigmatisasi makna jihad harus ditolak. Namun, menerapkan hukum jihad di luar konteksnya juga harus ditolak. Kini, Allah SWT memanggil kita untuk menjadi penjaga Islam yang amanah (harisan aminan li al-Islam). Tugas kita adalah menjaga kemurnian dan kejernihan Islam. Membersihkan berbagai atribut yang bisa mengotori dan merusak Islam, kemudian menyampaikannya kepada umat, agar mereka tidak menjadi korban. Inilah PR kita. Wallahu al-muwaffiq ila aqwami at-thariq. (Hafidz Abdurrahman)

Satu Tanggapan

  1. Ulah manusia intinya adalah dari kemampuan MEMAHAMI persoalan dengan dasar acuan yang luas dan dalam. Sebagai seorang muslim saya cinta agama yang saya anut tapi belum cukup hanya sampai di situ. Pelajari, dalami, telaah ajaran agama yang kita anut dengan sungguh-sungguh, dialogkan dengan orang-orang yang dipercayai secara umum bahwa dia/mereka adalah akhli di bidangnya, dsb. Hanya menggunakan emotional commitment yang sudah mengental dari hasil taklid buta itu saja tidak mustahil kita akan melupakan prinsip-prinsip ajaran agama yang penting … dan akhirnya akan melakukan anarkisme. Hadis mengatakan kasihi siapa yang ada di bumi maka kelak engkau akan dikasihi oleh siapa yang ada dilangit. ALL YOU NEED IS LOVE, katanya.

Tinggalkan komentar