Biografi Imam Samudra ( Aku Melawan Teroris )


Download bukunya di akhir Tulisan.
Intifadhah Palestina dan jihad Afghanistan membuat diriku benar-benar geram dan gundah. Aku ingin segera selesai sekolah dan mencari kerja untuk mendapatkan ongkos ke Afghanistan. Tapi ya bagaimana, untuk beli perangko kartu lebaran dan buku diary untuk kukirim ke Ketua OSIS-ku saja, aku harus menjebol tabunganku hasil beasiswa dari Depdikbud waktu itu. Ketua OSIS-ku waktu itu, kini menjadi Perdana Menteri di kerajaan tentara dan mata air di surga (nama putraku berarti Tentara Allah, dan nama putriku berarti mata air di surga). Dan yang menjadi Kaisar atau Rajanya adalah Imam Samudra.

Alhamdulillah, Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Tiga tahun kemudian doaku terkabul. Tahun 1990, aku lulus MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cikulur, Serang. Di sebuah masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tepatnya masjid Al Furqan, jalan Kramat Raya 45, Jakarta, aku mendengarkan ceramah dari seorang da’i yang kurang aku kenal namanya. Saat itu juga aku berjumpa dengan seseorang bernama Jabir (syahid dalam peristiwa bom Antapani Bandung). Dengan bahasa Indo-Sunda, kami berkenalan. Kemudian entah bagaimana ceritanya, pembicaraan saat sampai pada topik jihad. Kuceritakan buku-buku jihad yang pernah kubaca, ia nampak interes dan antusias.

Setelah dia (agak) mengorek latar belakangku, seingatku waktu itu, dia berkata, “Tahun ini ada pemberangkatan, mau ikut nggak?” Untuk memperkuat dugaanku lalu kutanya, “Maksudnya ke Afghanistan?” Dia hanya menjawab, “Dik, udah dech, cepetan cari ongkos sekitar Rp 300 ribu. Insya Allah kalau antum ikhlas, Allah akan memudahkan urusan antum.”

Ciaoooo!!! Segera aku pamit dan kembali ke rumah. Ada sedikit sisa tabungan hasil kirim artikel berita ke Panji Masyarakat ditambah pemberian ibunda tercinta. Aku tak terlalu enak meminta uang dari ibuku, tapi apa boleh buat, setelah aku nyatakan bahwa aku akan ke luar negeri, beliau memberikan uang yang aku perlukan. Uang itu hasil usaha menjual jilbab dan busana muslimah yang kadang-kadang kubantu mencarikan bahan-bahannya di Tanah Abang, Jakarta.

Jumpa lagi sekitar tiga hari berikutnya dengan Kang Jabir. Setelah mendapatkan paspor Jakarta dalam minggu yang sama, kami ke Dumai dan bermalam sehari. Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan ke Malaka, Malaysia. Pada waktu itu rute Dumai-Malaka terkenal sebagai jalur TKI. Tidak sedikit mereka yang ditolak oleh imigrasi Malaysia, sekalipun mereka melengkapi dengan dokumen resmi dan uang tunjuk (uang jaminan selama tinggal di Malaysia).

Karena barangkali aku tidak memiliki tampang TKI, Alhamdulillah, dengan mudah dapat melewati antrian ratusan ‘turis’ Indonesia yang akan ke Malaysia. Tinggal sehari lebih sedikit di Malaysia. Keesokan sorenya kami menuju bandara Subang-Jaya, Selangor Darul-Ehsan. Begitu pesawat MAS (Malaysian Air System) take off, aku baru merasakan benar-benar berat meninggalkan tanah air. Ada perasaan ‘lain’ terhadap mantan Ketua OSIS SMPN-4 angkatan 84/85 Serang. Ok! Lupakan itu. Aku segera teringat ayat ini:

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk (hidayah) kepada orang-orang fasiq.”
(At-Taubah : 24).

***

Di atas udara dalam pesawat, para kernet udara (stewardest) menawarkan free post card, amplop dan sejilid kecil kertas surat berlogo Malaysian Air System. Sambil mengisi waktu 8 jam flight KL-KHI (Kuala Lumpur-Karachi), kutulis sekeping post card kepada satu-satunya wanita –selain ibu dan saudariku– yang pernah singgah dan akhirnya menetap dalam kehidupanku. Wanita itu adalah mantan Ketua OSIS yang pada saat itu juga baru lulus SMA. Kalau tak salah post card itu ditulisi dengan terjemahan surat Al-Baqarah ayat 214:

Apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang padamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan/cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

Alhamdulillah, dengan takdir Allah, paid stamp post card itu akhirnya sampai juga ke tangan Sang Mantan Ketua OSIS, yang kuketahui beberapa saat menjelang pernikahan kami, 1995.

Setelah transit dua jam di Bombay, India, MAS yang kami tumpangi selamat landas di Karachi. Sehari semalam, kami bermalam di maehmon khana (ruang tamu) sebuah masjid Karachi. Perjalanan dilanjutkan ke Peshawar pada awal pagi. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama daerah itu, sebuah rumah gaya Paki-Afghan yang sangat sesuai dengan syariat Islam.

Tinggal sehari di situ. Ba’da shubuh esok harinya, perjalanan ke negeri impian para lelaki dilanjutkan. Melewati gunung-gunung yang indah, menumpang bus dengan penumpang sebagian besarnya berbahasa ‘planet’ yang tidak pernah kukenal sama sekali. Sepanjang perjalanan aku yang mengenakan pakaian Afghanis dan menutup seluruh wajahku kecuali mata dengan menggunakan ridah (selimut tipis), tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekali bicara, orang akan tahu siapa aku. Perjalanan sepenuhnya dipimpin oleh Syahid Jabir dan dua orang Arab yang sampai saat ini tak kukenal darimana dan siapa namanya.

Menjelang Ashar, dengan berjalan kaki dari perbatasan Pakistan-Afghanistan selama hampir 4 jam, sampailah kami di sebuah camp sederhana yang terkenal dengan sebutan, Muaskar Khilafah. Di situ aku memulai kehidupan yang sama sekali baru dan sangat baru. Kehidupan yang betul-betul bersih sekalipun tidak disebut ‘steril’ 100 persen.

***

Sungguh,
satu babak kehidupan baru yang amat membahagiakan.
‘Musik’ kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar,
dan dentuman zigoyak dan da-scha-ka- (anti air craft gun).
‘Nyanyian’ kami adalah nasyid-nasyid (sejenis achapella)
pembangkit semangat jihad.
‘Senandung’ kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran.
Tiada suara wanita, tiada tangis anak kecil,
apalagi musik-musik jahiliyah, panggilan setan.

Flat ground yang dikelilingi gunung di empat penjuru itu benar-benar menentramkan hati, benar-benar ‘surga’ bagi para perindu surga kekal di akhirat. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke tempat itu kecuali ia benar-benar siap menggadaikan nyawanya di jalan Allah. Tidak ada seorang pun bertahan lama di situ kecuali jika ia telah siap bertarung melawan kaum kafir, baik komunis asli Uni Soviet ataupun komunis northern sebangsa Dustum –yang kini berkoalisi dengan Si Karzai di bawah ketiak Amerika dan para pengecut sekutunya.

Mereka yang datang ke tempat ‘aneh’ seperti itu hanyalah mereka yang siap membunuh atau dibunuh kafir, siap berjihad demi menegakkan kalimat Allah. Dan kesiapan mental seperti itu, hanya akan terwujud dengan rahmat dan takdir Allah. Alhamdulillah.

Khost, nama tempat itu. Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun caparkat dan cactus Afghan telah luruh, tinggallah duri-duri dan kayunya yang kelak dibakar untuk kayu penghangat dan pemasak. Anor (delima) tak lagi berbuah, runtuh sudah daun-daunnya. Saghol (serigala) melolong di tengah malam. Selapis jaket mesti dikenakan. Begitulah keadaannya saat pertama kali aku tiba. Ya, saat itu musim gugur telah tiba.

Purnama kelima dari saat awal aku tiba telah menjelma. Musim gugur hilang sudah. Datanglah penggantinya. Afghanistan menggigil. Satu ketika sepulang belajar, saat aku berbaring di dekat room heater, suara keras bertubu-tubi menimpa atap tendaku, persis seperti bunyi lemparan benda keras. Saudara-saudara Afghan berteriak, “Baraan…, baraan…” Segera Aku longokkan kepalaku keluar tenda. Dan… pletak! Sebongkah benda menjitak kepalaku. Subhanallah.., bongkahan itu ternyata benda keras yang terbuat dari air yang membeku sebesar biji nangka. Dingin rasanya. Jernih warnanya. Es, nama benda itu… Kemudian baru kutahu kalau baraan itu artinya hujan.

Tiga hari kemudian sekitar jam enam pagi kudengar lagi teriakan saudara Afghan, “Baraaf…, baraaf…” Penasaran kujengukkan kepala keluar tenda. Subhanallah…, Salju…, salju…! Saat itu aku benar-benar menjadi ‘anak kecil’. Jika dulu aku suka hujan-hujanan di kampung halaman, maka saat itu aku salju-saljuan. Segera aku melompat keluar tenda menyambut kapas demi kapas salju yang terjun dari pintu-pintu langit. Saudara-saudara Afghan dan Arab hanya cengar-cengir dan cengengesan melihat polahku, tapi aku tak peduli. Ya, di negeriku tidak ada salju. Yang ada hanyalah hujan air, dan setelah itu lahirlah banjir.

Menjelang delapan pagi, saat akan memulai rutinitas, gunung-gunung di sekitar kami telah berselimut salju. Puncaknya begitu indah, hampir sama dengan gambar iklan Hazeline Snow. Di sekeliling kami tanah yang dulu berwarna coklat kini memutih, begitu juga pepohonan dan bebatuan. Kata penghuni lama di camp itu, suhu udara mencapai -7 °C (minus tujuh derajat celcius), jauh di bawah titik beku. Aku sendiri tak pernah mengukur. Yang jelas, orang sekurus aku mengenakan sekitar 5 lapis pakaian, dan kadang-kadang 6 lapis jika ditambah jaket wool ala Eropa.

Khost bukanlah kampus biasa. Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemewahan dunia. Jika mereka kuliah, hanyalah demi kepentingan dunia semata. Khost adalah sekeping tanah di bentangan-bentangan bumi. Sewaktu-waktu, kapan saja, musuh bisa menyerang, menghantar mortar, memuntahkan peluru, lalu terjadilah pertempuran seru. Ajal memang di tangan Allah. Tapi di Khost dan front-front jihad lain di Afghanistan kematian terasa begitu dekat. Musuh ada di segala arah. Maut sewaktu-waktu akan menjemput.

***

Siaga tetap siaga. Waspada tetap waspada. Tetapi ‘indah’ adalah ‘indah’. Main salju bagiku terlalu indah, subhanallah. Umurku saat itu baru menjelang dua puluh. Masih ada tersisa rona-rona jahiliyah. Masih ada guratan-guratan kenangan lama. Tanggal dan harinya lupa sudah. Tetapi yang jelas di malam hari, langit begitu cerah, gemintang begitu indah menantang. Cassiopia, jalinan bintang berbentuk ‘W’ kubidik sebagai sasaran.

Nah…, tiba-tiba ingatanku jauh ‘terlempar’ ke alam ‘sana’, ke sebuah benua bernama Asia, terus terlempar ke Asia Tenggara, dan terus ke sebuah negara dengan ibukota bernama Jakarta. Di sebelah baratnya ada kota bernama Kalideres, diteruskan lagi ke arah barat. Satu jam kemudian kan tiba di terminal yang disebut Ciceri. Berjalan saja ke utara yang sekitar 1000 meter. Maka tibalah di sebuah tempat bernama Cinanggung. Ada sebuah rumah, Blok F 140…. Duh, ternyata di situlah rumah seorang wanita yang tempo hari kukirim postcard.

Astaghfirullah! Segera kusebut asma-Nya, ada apa ini? Segera kuambil teko kecil berisi air hangat, lalu aku berwudlu, shalat dua rakaat, berbaring. Malam begitu panjang, mata sukar terpejam. Seperti telah kubilang, ‘indah’ adalah tetap ‘indah’, ingin aku berbagi cerita, tapi dengan siapa? Dengan saghol-saghol, dengan atap tenda, atau dengan siapa? Ternyata tidak ada. Ya sudah ‘telan sendiri’ saja. Refleks goresan jahiliyahku kembali timbul. Running text, penggalan syair Ebiet G. Ade pun berkelebat, katanya:

Banyak cerita yang mestinya kau saksikan…
Sayang kau tak duduk di sampingku kawan…

Laa ilaha illallah. Astaghfirullahal ‘Azhiim… kembali kusebut asma-asma-Nya.

***

Casio F-44-w di tanganku menunjukkan angka 4 lebih sedikit. The seven brother, rangkaian rasi yang terdiri dari 7 bintang telah mengambil posisinya. Waktu sahur telah tiba, ikhwan-ikhwan yang lain segera kubangunkan. Beberapa potong daging, sedulang nasi minyak Afghanis, 4 sobek roti nan dan sambal kentang yang telah kuhangatkan segera kusajikan. Malam itu memang giliranku sebagai penyaji sahur. Dalam suasana ukhuwah, dengan penuh kesyukuran kami santap rezeki Allah itu. Sedangkan udara di luar sana kian menggigit. Pagi semakin dingin.

Jumat pagi, sinar akhtab (matahari) cukup hangat. Ada sedikit aktivitas yang kami jalankan demi menjaga stabilitas iman dan stamina jasad. Demi maintenance niat-niat suci mencari syahid, menghimpun ridha Allah dan syurga-Nya. Hari itu, dalam salah satu even, Allah mengujiku dengan sedikit luka yang menimpa sebagian lengan dan kakiku. Aku diam, diriku dan Allah yang tahu. Aku berharap semoga hal ini kelak akan menjadi saksi di hari akhirat.

Tetapi setelah itu, lagi-lagi sisa-sisa jahiliyahku mencuat, lalu mengalirlah di batinku,

Mungkinkah kau masih mengharapkanku…
Kini tubuhku penuh dengan luka…

Potongan syair dari lagu Tommy J. Pisa yang sempat ngetop di masa aku eS-eM-Pe. Aku seolah-olah berbicara dengan sang mantan Ketua OSIS-ku itu. Suatu hal yang semestinya sangat tidak pantas dialami oleh lelaki yang sedang mengejar bidadari sejati di alam surga nanti. Yang sedang mengejar ridha Allah dan surga-Nya.

Sungguh aku tak mengerti mengapa hal seperti itu mesti terjadi dan kualami. Tidak ada faktor pendukung secara lahir, baik dari personal, aktivitas lingkungan, yang dapat memancing kenangan itu hadir kembali. Pada sorenya, segera kuingat pesan Umar bin Khattab, “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak…”

Ya, kini aku harus menghitung diri, instrospeksi atas segala apa yang terjadi dan kualami. Aku sangat mengerti bahwa mengingat wanita yang bukan mahram adalah termasuk zina hati. Mengenang masa lalu dengan mantan Ketua OSIS adalah juga termasuk dosa-dosa kecil yang akan mengotori hati. Tetap dosakah jika semua nostalgia itu datang secara surprise, tak dipaksa? Adakalanya kenangan itu tiba-tiba hadir saat mataku tertumbuk huruf Z, atau melihat kacamata. Kenapa? Ebiet G. Ade pasti tahu jawabannya…

Teori umum mengatakan bahwa kenangan atau lamunan, biasanya timbul saat kita tidak memiliki kesibukan atau ketika waktu senggang. Tetapi aku tidak, justru kenangan itu timbul di saat-saat aku sibuk, di saat tanganku menyandang kalashinkov, di tengah gelegar mortar, di tengah hujan peluru dan bau mesiu. Saat menghisab diri yang entah untuk kesekian kali, hampir selalu tak ketemu jawaban. Mengadu pada teman sebaya, atau konsultasi pada senior? No! aku bukan tipe seperti itu. “Solve Yourself Problem !” Itu mottoku. Hanya Allah, hanya Allah, dan hanya Allah yang Maha Tahu. Dialah tempat mengadu.

Akhirnya… Di musim salju tahun kedua, kujumpa jawabannya. Gerangan apa? “SEBAB AKU ADALAH MANUSIA.”

Rabbi…
Telah aku berdoa pada-Mu
Dalam hampir tiap-tiap waktuku.
Aku berkata pada-Mu
Cabutlah segala rinduku, kecuali kerinduan pada-Mu

Dalam simpuh dan sujudku
Selalu aku mengadu
Jangan gugurkan pahalaku
Hanya karena secuil rindu yang mengganggu

Robbie…
Jika Kau takdirkan peluru menembus ulu hatiku
Dan lalu aku menjumpai-Mu
Terimalah ke-syahidanku
Telah aku bertaubat, atas segala kenangan yang kuingat.

Ini ada peluru, ini ada mesiu
Aku rindu Ayah Bunda, aku rindu Si Dia,
Tetapi aku lebih rindu pada-Mu

Saat musim salju tiba
Maka rindu pun menjelma
La hawla wala quwwata illa billah…

DOWNLOAD BUKU AKU MELAWAN TERORIS

36 Tanggapan

  1. ak dah baca bukunya,
    Subhanallah…

  2. bagaimana tanggapan anda tentang AKU “MELAWAN TERORIS” sebuah kedustaan atas nama ulama ahlussuna di

    http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=246

    ============

    COKIE :

    silahkan baca https://cokiehti.wordpress.com/2008/10/13/bom-bali-kesesatan-imam-samudra/
    Bali bukan wilayah konflik/perang , dan perlu dibedakan antar jihad opensif dan jihad defensif
    baca juga :

    Apakah Jihad Harus Menunggu Khilafah Tegak??

    Bom Jihad BUKAN Bom Bunuh Diri

  3. nice posting … salam kenal dari bandung

    ========

    COKIE :

    Salam kenal juga mas,…
    tengkyu dah mampir dan ninggalin jejak

  4. assalamu’alaikum..salam kenal

  5. tidak ada kemulian tanpa jihad, hidup mulia dibawah bayangan pedang,
    hidup mulia atau mati syahid

  6. kalangan MURJI”AH kontemporer berkedok “salafiyyun” selalu cap mujahidin sebagai khawarij. emangnya mujahid2 itu menentang pemerintahan a la pemerintahannya ali r.a. yang menegakkan hukum2 islam!!? silahkan antum temukan, dapatkan, arsipkan, dan keep-in mind, artikel2/bahasan2 yg bantah syubhat lontaran kalangan irja’i semacam itu. murji’ah berbaju salafy adalah penjilat penguasa2 thaghut! LAA IZZATA ILLA BI-L-JIHAD: BI-L-QITAL fii SABILILLAH! Allahu akbar!!!

  7. hidup mulia atau mati sahid…islam tak akan tegak kecuali dengan perang…..bca deh surat alhadid….tapi ko HTI katanya ga wajib jihad (perang) sebelim khilafah tegak….trus mw tegakin islam pake apa? bualan ataw hanya retorika yang memikat?

    jangan hukum mereka yang menggabungkan diri dalam barisan jihad…itu adalah kekeliruan……..harokah yang patut di pertanyakan jika berlaku demikian….Afwan jika tidak berkenan namun ini wajib untuk di sampaikan..Allhamdulillah

    ===========

    COKIE :

    Afwan…
    kata siapa jihad tidak wajib?
    Islam ditegakkan dengan DAKWAH dan JIHAD.
    mari kita sama sama pelajari makna jihad itu ( dan harus dibedakan antara jihad Ofensif dan Defensif )

    Jihad dibedakan atas Jihad ofensif dan defensif. Jihad ofensif adalah jihad yang diemban oleh Daulah Islamiyah dalam rangka menyebarkan risalah Islam ke suatu negara, dan dilakukan sebagai jalan terakhir setelah upaya persuasif (dakwah) mengalami hambatan atau halangan yang bersifat fisik. Artinya, ketika proses penyebaran risalah Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh negara Khilafah kepada bangsa-bangsa lain, mendapat reaksi penolakan, tidak mau tunduk bahkan melawan dengan kekuatan (militer), maka saat itulah dilancarkan jihad ofensif.
    Tetapi, jika mereka membuka diri terhadap dakwah, tidak menentang ketika dijelaskan kepada mereka tentang kebenaran ajaran Islam serta kesalahan keyakinan yang mereka peluk dengan seperangkat argumentasi yang menggugah akal, menyentuh perasaan dan menentramkan jiwa, mereka tidak akan diperangi. Terlebih lagi bila mereka mengubah dan meninggalkan aqidah mereka dengan memeluk aqidah Islam, mereka akan menjadi bagian dari umat Islam.
    Jihad tidak pula akan dikobarkan, meskipun mereka menolak masuk Islam, karena memang tidak ada paksakan dalam hal memeluk agama Islam, tetapi mereka bersedia tunduk terhadap kekuasaan Islam. Mereka tergolong sebagai ahlu zhimmah, yang harus tunduk kepada seluruh hukum-hukum islam, kecuali yang menyangkut perkara ibadah, pakaian dan makanan-minuman serta yang terkait dengan keyakinan mereka. Jadi, hanya bila mereka menolak dan menghalangi dakwah, serta tidak mau tunduk sebagai ahlu zhimmah, mereka akan diperangi. Dan, peperangan terhadap mereka atau dalam kasus yang seperti itu termasuk dalam jihad ofensif. Inilah jihad sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an.
    Perangilah oleh kamu sekalian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang haq (Islam), yaitu dari orang-orang yang diberi Al-kitab kepada mereka, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29)
    Adapun jihad defensif adalah berperang untuk membela dan mempertahankan diri dari serangan atau ancaman musuh kafir. Dengan kata lain, jihad yang dikobarkan ketika kaum muslimin diserang oleh musuh-musuh islam, merampas harta dan mengusir mereka dari kampung halamannya. Dalam keadaan seperti ini, wajib atas setiap muslim yang diserang untuk mengangkat senjata demi membela kehormatan diri, mempertahankan harta, dan jiwa. Jihad seperti ini wajib dilaksanakan sebagaimana seruan Al-Qur’an.
    “perangilah oleh kamu sekalian di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidaklah menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-Baqarah: 190)
    Dalam keadaan diserang, kaum muslimin wajib untuk melakukan tindakan pembalasan secara tegas, baik balas membunuh atau balas mengusir mereka, orang-orang yang menyerang itu.
    “Dan bunuhlan mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu” (QS. Al-Baqarah: 191)
    Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa jihad defensif lebih menuntut individu per individu untuk mengamalkannya, atau merupakan jihad fardiy. Maksudnya, jihad yang wajib dilakukan oleh setiap muslim secara otomatis, tanpa memerlukan adanya fatwa atau perintah pemimpin lebih dulu. Ini terjadi bila kaum muslimin diserang. Pada saat itu, wajib atasnya untuk melakukan jihad. sekalipun tentu saja tetap diperlukan seorang yang bertindak sebagai pemegang komando atau pemimpin pertempuran.
    Sedangkan jihad ofensif menuntut amal jama’iy, yaitu dilakukan dengan terlebih dulu ada pdari kepala negara. Umat Islam tidak dibenarkan bertindak secara individual. Dalam keadaan seperti ini, Khalifah, atau Amirul Mukminin akan terlebih dulu mengambil keputusan, tentang kepada siapa jihad ofensif akan dilakukan. Juga, menyangkut seorang yang ditunjuk sebagai panglimanya yang bertanggung jawab untuk mengatur seluruh operasi pertempuran.

    Wallahua’lam bi al-shawab

  8. elakukan jihad. sekalipun tentu saja tetap diperlukan seorang yang bertindak sebagai pemegang komando atau pemimpin pertempuran.
    Sedangkan jihad ofensif menuntut amal jama’iy, yaitu dilakukan dengan terlebih dulu ada pdari kepala negara. Umat Islam tidak dibenarkan bertindak secara individual. Dalam keadaan seperti ini, Khalifah, atau Amirul Mukminin akan terlebih dulu mengambil keputusan, tentang kepada siapa jihad ofensif akan dilakukan. Juga, menyangkut seorang yang ditunjuk sebagai panglimanya yang bertanggung jawab untuk mengatur seluruh operasi pertempuran.

    mana dalilnya..jika ente mengangap seperti itu \.. banyak ayat quran yang gugur

    =====

    COKIE :

    Sebelum Negara Islam Madinah tegak, Pernahkah Rasulullah berperang??
    Kalau ada perang apa namanya

  9. Memang benar bahwa urusan jihad sebagai salah satu urusan dien menjadi tanggung jawab kholifah. Sebagaimana penegakkan hudud, sholat, zakat dan seluruh urusan dien lainnya, kholifahlah yang paling bertanggung jawab. Karena itu seluruh ulama Ahlu sunah wal jama’ah, seluruh ulama Khowarij, seluruh ulama Murji’ah dan seluruh ulama Mu’tazilah bersepakat bahwa umat Islam wajib hukumnya menegakkan kekhilafahan dan mengangkat seorang kholifah.
    Kholifahlah yang mengirim pasukan jihad minimal sekali setiap tahunnya untuk melebarkan dakwah melalui jihad ke negara-negara kafir. Kholifah juga mengadakan mobilisasi umum jika kondisi menuntut dan kholifah juga mengangkat komandan-komandan jihad, berdasar beberapa hadits antara lain :
    Dari Buraidah radhiyallahu ‘Anhu ia berkata,” Rasulullah bila mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus baginya dengan taqwa kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin lainnya untuk berbuat kebajikan. Lalu beliau bersabda,”Berperanglah dengan nama Allah, berperanglah fi sabilillah…!”

  10. Namun terkadang dalam beberapa kondisi, kaum muslimin harus mengangkat sendiri komandan jihad tanpa adanya penunjukkan dari kholifah, contohnya dalam kondisi :
    1- Komandan jihad yang telah diangkat oleh kholifah tidak ada (baik karena ditawan, terbunuh atau lemah) dan kaum muslimin tidak mempunyai kesempatan untuk kembali kepada kholifah untuk menerima pengangkatan komandan jihad baru, serta saat itu kaum muslimin tidak mempunyai beberapa komandan jihad secara tertib atau seluruh komandan jihad yang diangkat kholifah telah habis terbunuh.
    2- Kaum muslimin atau sekelompok kaum muslimin mengadakan sebuah gerakan bersama (amal jama’i ; terutama tadrib militer dan jihad) sementara kaum muslimin saat itu tidak mempunyai kholifah. Seperti kondisi umat Islam saat ini.
    Kaum muslimin harus mengangkat salah seorang di antara mereka sbagai komandan jihad karena mereka tidak boleh beramal tanpa adanya seorang komandan. Rasulullah telah memberi mereka hak memimpin “ hendaklah mereka mengangkat salah seorang sebagai pemimpin
    Dari Abu Sa’id al Khudri bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Jika tiga orang keluar dalam suatu safar hendaklah mereka mengangkat salah satu menjadi amir.” Dalam riwayat lain :
    Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Tidak boleh bagi tiga orang yang berada di padang pasir (tanah yang kosong) kecuali mereka mengangkat salah seorang sebagai amir
    Imam Syaukani berkata,” Jika disyariatkan mengangkat amir untuk tiga orang yang berada di tempat kosong (padang pasir) atau bersafar maka pensyariatannya untuk jumlah yang lebih besar yang menempati desa-desa dan kota-kota dan dibutuhkan untuk mencegah kezaliman dan menyelesaikan persengketaan lebih penting dan lebih wajib lagi. Karena itu hal ini menjadi dalil bagi yang berpendapat,” Wajib bagi kaum muslimin untuk menegakkan pemimpin, para wali dan penguasa
    Ibnu Taimiyah berkata,” Jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan pengangkatan amir untuk jama’ah (kelompok) yang paling sedikit dan perkumpulan yang paling singkat maka ini artinya menyamakan wajibnya mengangkat amir untuk perkumpulan yang lebih besar dari itu.”
    Pada perang Mu’tah, Rasulullah mengangkat tiga komandan jihad : Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Tholib dan Abdullah bin rowahah. Jika Zaid terbunuh, maka yang menggantikan adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah menjadi penggantinya. Ketika ketiga komandan terbunuh, seluruh anggota pasukan sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan jihad, padahal Rasulullah sebagai kholifah sama sekali tidak, menunjuknya sebagai komandan keempat. Meski seluruh anggota pasukan tidak meminta persetujuan kholifah terlebih dahulu, Rasulullah ridho dengan perbuatan mereka dan bahkan menggelari Kholid dengan gelar saifullah.

    =====

    COKIE :

    Sebelum Negara Islam Madinah tegak, Pernahkah Rasulullah berperang??
    Kalau ada perang apa namanya

    Contoh perang MU’TAH yang antum sebut diatas terjadi NEGARA ISLAM BERDIRI

    Sejak tahun 610 M ( Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul Allah ) Rasulullah hanya berdakwah, tidak berperang
    ini tidak berarti kita tidak perlu berjihad sebelum Khilafah tegak, Jihad boleh dilakukan asalkan didaerah konflik ( seperti irak, afganistan dll ). kalau di Indonesia yang harus kita lakukan bukan Jihad ( dlm arti perang/Qital ) tetapi Dakwah. Islam ditegakkan dengan Jihad dan Dakwah.
    Tapi kalau kita bener bener pengen jihad ( perang ) , ya silahkan aja datang ke wilayah wilayah konflik.

    622 M/1 H
    Negara Islam Berdiri

    622-32 M
    1. Muhammad saw. menjadi Pemimpin Negara Islam Pertama.
    2. Muhammad saw. mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin.
    3. Membangun masjid sebagai pusat pengembangan agama dan politik.
    4. Menandatangani Watsiqah Madinah (Piagam Madinah) antara kaum Muslim (Anshar dan Muhajirin) dengan orang-orang kafir musyrik dan Yahudi Yastrib.624 M
    Perang Badar: Kaum Muslim menang. 313 orang kaum Muslim berhadapan dengan 1000 orang kaum kuffar. Peperangan yang paling penting dalam sejarah Islam.
    625 M
    Perang Uhud: Pihak kaum Muslim kalah. Beberapa dari pasukan Muslim mengabaikan salah satu perintah Muhammad saw. dan meninggalkan posisi penting di medan perang. Muhammad (saw) sendiri terluka.
    627 M
    Perang Khandaq (Ahzab): Islam dan kaurn Muslim menang. Selepas peperangan ini pihak Quraisy tidak mampu lagi untuk melancarkan serangan terhadap kaum Muslim.

    628 M
    1. Perang Bani Qurayzdah: Islam menang,
    2. Perjanjian Hudaybiyah: Perjanjian damai dengan jangka waktu maksimal 10 tahun, antara kaum Muslim dengan Quraisy. Langkah politik Nabi saw. yang bijak ini, antara lain, untuk menghancurkan kesepakatan antara Quraisy dan Khaybar. sehingga kekuatan pihak Quraisy semakin lemah.
    3. Titik perubahan dalam Sirah.
    4. Mengutus surat kepada para pemimpin dunia untuk mengajak mereka kepada Islam.
    5. Perang Khavbar: Islam menang.

    629 M
    Perang Mu’tah: Perang antara pihak Islam dan Romawi. kaum Muslim mundur. 3.000 orang Islam berhadapan dengan 200.000 kaum kuffar.

    seterusnya baca….

    https://cokiehti.wordpress.com/2008/02/12/sejarah-umat-islam-tahun-570-2003-m/

  11. Salam
    Subhanalloh duh…kok jadi ngerasa gimnaaaaaa ya..hmm haru..

  12. imam samudra… subhanallah, salut.., luar biasa mudah2an ibu2 indonesia bisa melahirkan ribuan bahkan jutaan imam samudra-samudra baru yang siap menjadi debu yang menghancurkan kaum kaffir..

  13. Islam tidak menyuruh membunuh orang Kafir, tetapi membunuh sifat kekafiran yang ada di diri kita, supaya kita selamat (Aslam). Ibadah dengan niat untuk mencari surga itu kurang bagus, karena alam surga kita tidak tahu bagaimana bentuknya, ketika kita didalam rahim juga engga tahu alam dunia bagaimana, begitupun alam surga kita tak pernah tahu bagaimana bentuknya, itu merupakan sebuah rahasia Allah, Niat ibadah yang bagus adalah mencari Ridho Allah, semata-mata hanya Allah, siapa Allah? yang menghidupkan kita, yang memberi kita makan, tat kala kita lapar, yang memberi kita minum tatkala kita haus, yang memberi kita pakaian, karena kita sebenarnya telanjang, yang memberi kita tempat berteguh karena kita ini tak punya apa-apa. Hanya ridho Allah semata yang kita cari

  14. Tolong info dimana saya bisa full download buku AMT tsb?

  15. Wahai wali-wali Alloh..
    Antum sekalian sedang bertugas di muka bumi..
    Laa khoufun ‘alaihim wa laa hum yahzanun..

    Antum adalah kekasih-kekasih Alloh..
    Siapapun yang memusuhi kalian berarti telah menabuh genderang perang terhadap Alloh..

    Antum berdinas di dalam Kerajaan Alloh..
    Antum adalah serdadu-serdadu Alloh..
    Antum adalah petugas-petugas Alloh..
    Antum adalah hamba-hamba Alloh..

    Bertugaslah dengan baik..
    Ikutilah al-Aimmah kalian, jangan bercerai-berai..
    Semoga antum setelah pensiun dari tugas di muka bumi mendapat ganjaran istimewa dan tergolong orang-orang istimewa di sisi-Nya..
    Amin..

  16. Asslamu alaikum
    salam kenal
    klw menurut saya …
    kalau ada saudara kita yang niat berjihad dijalan Allah guna melaksanakan seruan jihad oleh Allah taffadal karena itu ada landasan syar’inya tapi jihadnya ditempat perang atau wilayah konflik yang dimana saudara2 kita butuh bantuan kita …tapi kalau ada yang memilih da’wah dengan cara dengan kekerasan ya silahkan karena ada dasar syar’iynya…jadi kedua2 pilihannya benar…wallahu alam
    mudah2han kita tidak dicerai berai oleh musuh2 kita
    salam perjuangan syari’ah dan penegakkan…

  17. jihadlah sekuatmu
    hingga titik darah penghabisan
    jihadlah sekuatmu
    hingga tak tersisa lagi
    musush musush Alloh

    Jihadlah sekuatmu
    disana…
    jangan di Indonesia…

  18. BUKAN JIHAD ITU MAH KALO BAM BUM DI INDONESIA …
    ITU PEMBUNUHAN !!!!

  19. ku salut dngan imam samudra….
    karena dia rela berkorban demi agama .
    teruskan lah perjuangan wahai teman2 imam samudra dan kawan kawan……..
    allahhuakbar….

  20. hidup mulia atau mati syahid itu benar.

  21. Bagi perindu2 syahid yg berperang dijalan Allah, teruskanlah perjuanganmu, semoga Allah ridho atas kalian dan memudahkan jalan kalian.
    Bagi saudara2 yang ingin terus menjilat thoghut, dan takut berperang, mencintai anak dan harta kalian, duduklah dgn rapi, jangan teriak2 atau menjadi penggembos, jangan hasut yang lain dengan ketakutanmu itu…ok

  22. barakaallahu alaikum

  23. jihad harus ditegakkan…………….
    allaaaaaaaaahhhuakbaaaaaaaaaaaarrrrrrrrr……..

  24. waspada terhadap mrk yg sering mencela mujahidin !!!!

    stiap orng2 yg berjuang djalan alloh pasti punya musuh,,,misal toghut negri ni,,,jadi aeh bila ada pejuang yg dicintai para toghut !!!!!!!!!!!!

  25. muslim harus bisa menjaga diri sendiri !!!!
    jd meski tanpa khilafah pun,,,,qt bs berjihad !!!!!!!!!!!!!

  26. AMANAT MUJAHID:
    Assalamu’alaikum wr.wb.
    Saudara-saudaraku sekalian, tetaplah berjihad di jalan Allah, selama hayat masih dikandung badan. Berjihadlah DI JALAN ALLAH (FI SABILILLAH), bukan di jalan THOGUT, karena apabila seseorang sedang dalam keadaan berjihad fi sabilillah lalu dia menemui ajalnya,
    maka oleh Allah dia ditempatkan di sisiNYA dengan diberi rizki yang melimpah.
    Sedangkan orang2 yang berjihad di jalan thogut lalu dia menemui ajalnya, maka dia dimasukkan kedalam kubur dan bergumul dengan siksa kubur karena kemusyrikannya terhadap Allah, dan setelah datangnya Hari Kiamat orang itu dimasukkan ke dalam Neraka Jahanam bersama para Thogut-nya. Mereka kekal di dalamnya.

    “Dan org2 yg berjihad utk (mencari keridhoan) Kami, benar2 akan Kami tunjukkan pd mereka jln2 Kami. Dan sesungguhnya Allah benar2 beserta org2 yg berbuat baik” (QS. Al-Ankabut: 69)

  27. THOGUT,USA,IZRAEL,HUKUMNYA WAJIB KITA BUNUH,DARAHNYA HALAL UNTUK KAUM MUSLIMIN…JIHAD HARUS TETAP KITA TEGAKAN!INDONESIA JUGA TEMPAT JIHAD FI SABILILLAH.DIMANAPUN!ALLAHUAKBAR…YA SAYYIDINA MUHAMMAD…

  28. assalamu’alaikum. gmn cara ngedapatin buku aslinyanya atau ebookknya? sy dah baca via ebook yg sy download, tp ndak lengkap..apa ada yang punya ebook lenkapnya ? kalau adasilahkan kirim dimail saya.. mail: dunia_itukecil@yahoo.com atau di againt_demokrasi@yahoo.com. thanks a lot.
    wassalam

  29. Membantah Syubhat tidak ada jihad selama tidak ada kholifah

    Sebagian pihak menyebarkan syubhat hari ini tidak ada kewajiban jihad karena tidak ada imam syar’i (kholifah) padahal jihad harus bersama imam. Orang-orang yang berjihad tanpa adanya kholifah pada zaman ini ; berdosa, akan kembali kepada adzab Allah dan berarti menangkap anak panah dari kemurkaan Allah dan menusukkan ke dadanya sendiri (bunuh diri).1
    Jawaban :
    Memang benar bahwa urusan jihad sebagai salah satu urusan dien menjadi tanggung jawab kholifah. Sebagaimana penegakkan hudud, sholat, zakat dan seluruh urusan dien lainnya, kholifahlah yang paling bertanggung jawab. Karena itu seluruh ulama Ahlu sunah wal jama’ah, seluruh ulama Khowarij, seluruh ulama Murji’ah dan seluruh ulama Mu’tazilah bersepakat bahwa umat Islam wajib hukumnya menegakkan kekhilafahan dan mengangkat seorang kholifah.2
    Kholifahlah yang mengirim pasukan jihad minimal sekali setiap tahunnya untuk melebarkan dakwah melalui jihad ke negara-negara kafir. Kholifah juga mengadakan mobilisasi umum jika kondisi menuntut dan kholifah juga mengangkat komandan-komandan jihad, berdasar beberapa hadits antara lain :
    كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِى خَاصَتِهِ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِسْمِ اللهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَقَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِا للهَِ
    Dari Buraidah radhiyallahu ‘Anhu ia berkata,” Rasulullah bila mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus baginya dengan taqwa kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin lainnya untuk berbuat kebajikan. Lalu beliau bersabda,”Berperanglah dengan nama Allah, berperanglah fi sabilillah…!”3
    Namun terkadang dalam beberapa kondisi, kaum muslimin harus mengangkat sendiri komandan jihad tanpa adanya penunjukkan dari kholifah, contohnya dalam kondisi :
    1-Komandan jihad yang telah diangkat oleh kholifah tidak ada (baik karena ditawan, terbunuh atau lemah) dan kaum muslimin tidak mempunyai kesempatan untuk kembali kepada kholifah untuk menerima pengangkatan komandan jihad baru, serta saat itu kaum muslimin tidak mempunyai beberapa komandan jihad secara tertib atau seluruh komandan jihad yang diangkat kholifah telah habis terbunuh.
    2-Kaum muslimin atau sekelompok kaum muslimin mengadakan sebuah gerakan bersama (amal jama’i ; terutama tadrib militer dan jihad) sementara kaum muslimin saat itu tidak mempunyai kholifah. Seperti kondisi umat Islam saat ini.4
    Kaum muslimin harus mengangkat salah seorang di antara mereka sbagai komandan jihad karena mereka tidak boleh beramal tanpa adanya seorang komandan. Rasulullah telah memberi mereka hak memimpin “ hendaklah mereka mengangkat salah seorang sebagai pemimpin فَلْيُؤَمِّرُوْا “dengan sabda beliau :
    عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إَذَا خَرَجَ ثَلاَثَةُ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ.
    Dari Abu Sa’id al Khudri bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Jika tiga orang keluar dalam suatu safar hendaklah mereka mengangkat salah satu menjadi amir.” Dalam riwayat lain :
    عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ:لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ أَى أَمَرُوْا أَحَدَهُمْ.
    Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Tidak boleh bagi tiga orang yang berada di padang pasir (tanah yang kosong) kecuali mereka mengangkat salah seorang sebagai amir.”5
    Imam Syaukani berkata,” Jika disyariatkan mengangkat amir untuk tiga orang yang berada di tempat kosong (padang pasir) atau bersafar maka pensyariatannya untuk jumlah yang lebih besar yang menempati desa-desa dan kota-kota dan dibutuhkan untuk mencegah kezaliman dan menyelesaikan persengketaan lebih penting dan lebih wajib lagi. Karena itu hal ini menjadi dalil bagi yang berpendapat,” Wajib bagi kaum muslimin untuk menegakkan pemimpin, para wali dan penguasa.” 6
    Ibnu Taimiyah berkata,” Jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan pengangkatan amir untuk jama’ah (kelompok) yang paling sedikit dan perkumpulan yang paling singkat maka ini artinya menyamakan wajibnya mengangkat amir untuk perkumpulan yang lebih besar dari itu.” 7
    Pada perang Mu’tah, Rasulullah mengangkat tiga komandan jihad : Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Tholib dan Abdullah bin rowahah. Jika Zaid terbunuh, maka yang menggantikan adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah menjadi penggantinya. Ketika ketiga komandan terbunuh, seluruh anggota pasukan sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan jihad, padahal Rasulullah sebagai kholifah sama sekali tidak, menunjuknya sebagai komandan keempat. Meski seluruh anggota pasukan tidak meminta persetujuan kholifah terlebih dahulu, Rasulullah ridho dengan perbuatan mereka dan bahkan menggelari Kholid dengan gelar saifullah.8
    Imam Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini ada dalil kebolehan mengangkat komandan dalam sebuah pertempuran meski tanpa ta’mir (pengangkatan dari kholifah). Imam Ath Thohawi mengatakan,” Hadits ini menjadi pokok landasan bahwa kaum muslimin harrus mengangkat seorang di antara mereka sebagai pengganti imam (kholifah) jika imam (kholifah) tidak ada sampai imam hadir.”9
    Ibnu Hajar berkata,” Imam Ibnu Munir berkata,” Disimpulkan dari hadits dalam bab ini bahwa orang yang ditunjuk memegang wilayah (kepemimpinan) sementara sulit untuk kembali (meminta persetujuan/pengangkatan—pent) terlebih dahulu kepada imam (kholifah), maka kepimpinan orang tersebut kokoh secara syar’i dan secara hokum ia wajib ditaati.” Demikianlah perkataan beliau, dan tidak tersembunyi lagi bahwa hal ini bila seluruh yang hadir telah sepakat mengangkat orang tersebut.”10
    Ibnu Qudamah berkata,” Jika imam tidak ada maka jihad tidak boleh ditunda karena maslahat jihad akan hilang dengan ditundanya jihad. Jika mendapat ghanimah maka orang yang mendapatkannya (berperang) membaginya sesuai aturan syar’i. Al Qadhi berkata,”Pembagian budak perempuan diakhirkan sampai adanya imam sebagai tindakan kehati-hatian karena berhubungan dengan hak biologis. Jika imam mengutus pasukan perang dan mengangkat seorang amir lalu ia terbunuh maka pasukan mengangkat seorang di antara mereka sebagai amir sebagaimana telah dilakukan para shahabat dalam perang Mu’tah ketika para amir yang diangkat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam terbunuh. Mereka mengangkat Khalid bin Walid sebagai amir, lalu berita itu sampai kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam maka beliau meridhai hal itu dan membenarkan pendapat mereka, lalu saat itu beliau menyebut Khalid sebagai saifullah.” 11
    Barangkali ada yang menyanggah hadits perang Mu’tah dan keterangan imam Ath Thohawi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Munir, Ibnu Hajar dan asy Syaukani di atas dengan mengatakan bahwa pada perang Mu’tah masih ada kholifah, yaitu Rasulullah sementara umat Islam saat ini sama sekali tidak mempunyai kholifah. Syubhat baru mereka ini juga sangat nampak sekali kebatilannya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Ubadah bin Shomit tentang ba’iat para shahabat kepada Rasulullah, diterangkan :
    وَ أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
    “…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”12
    Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”13
    Jika seorang kholifah telah kafir, maka kepemimpinannya gugur secara syar’i dan umat Islam wajib berjihad menjatuhkannya dan mengangkat kholifah yang baru berdasar ijma’ ulama, seperti yang disebutkan oleh qadhi Iyadh, imam An Nawawi14 dan Ibnu Hajar. Lantas apakah kita akan mengatakan kita tidak akan memberontak kepada kholifah yang kafir karena kita tidak mempunyai kholifah ? Dari mana kita mempunyai kholifah kalau kholifahnya sendiri telah kafir dan kita berkewajiban melawannya ? Ataukah kita harus menunggu sampai turun kholifah yang ghoib dan membiarkan kaum muslimin dalam fitnah kekafiran dan kerusakan ? Hadits ini jelas dengan tegas menyatakan wajibnya berjihad melawan kholifah yang telah kafir. Bagaimana kaum muslimin berjihad melawan kholifah yang kafir padahal mereka tidak mempunyai kholifah / jawabannya secara syar’i adalah apa yang dicontohkan oleh para shahabat pada perang Mu’tah dan disetujui bahkan dipuji oleh Rasulullah, yaitu mengangkat salah seorang di antara mereka yang mempunyai kemampuan untuk memimpin jihad.
    Sesungguhnya kondisi umat Islam tidak mempunyai kholifah bukan terjadi pada saat ini saja, namun sebelum inipun telah terjadi. Yang paling terkenal adalah masa kekosongan kholifah selama tiga tahun antara tahun 656 H ( tahun terbunuhnya kholifah Al Musta’shim di Baghdad di tangan tentara Tartar) sampai tahun 659 H (diangkatnya kholifah Abbasiyah pertama di Mesir). Meskipun tidak ada kholifah, kaum muslimin tetap menerjuni kancah jihad yang namanya paling harum sampai hari ini yaitu perang ‘Ainu jaluth tahun 658 H melawan tentara Tartar. Jihad tetap mereka kerjakan tanpa kebingungan,” Bagaimana kita harus berjihad padahal kholifah tidak ada?”. Sederet ulama besar masa itu hidup seperti sulthanul ulama’ syaikh Izzudin bin Abdu Salam dan Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah, mereka mendukung sepenuhnya dengan fatwa dan keikut sertaan nyata di medan jihad. Bahkan komandan jihad umat Islam saat itu yaitu Saifudien Quthz mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir dan ia memecat anak penguasa Mesir sebelumnya yang masih anak-anak. Seluruh qadhii dan ulama menyetujui dan membaiatnya, bahkan imam Ibnu Katsir menyebut peristiwa ini sebagai nikmat Allah kepada kaum muslimin karena dengan izin Allah, Saifudin Quthz menghancurkan tentara Tartar.15 Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebut pasukan Islam yang berjihad melawan Tartar di Mesir dan Syam inilah, kelompok umat Islam yang paling berhak masuk dalam golongan thoifah manshurah16. Beliau juga menyebut umat Islam yang tidak berjihad melawan tentara Tartar sebagai thoifah mukhodzilah (kelompok penggembos), sementara tentara Tartar sebagai thoifah mukholifah (kelompok yang menyelisihi).17
    Yang mengherankan, syubhat ini disebarkan oleh orang-orang bahkan ulama yang menamakan dirinya ahlu sunah wal jama’ah. Padahal Rasulullah telah menyebutkan dalam hadits yang mutawatir tentang keberadaan thoifah manshurah yang senantiasa berjihad di atas kebenaran sampai hari kiamat, sementara di sisi lain Rasulullah juga menyebutkan akan adanya zaman di aman kaum muslimin tidak mempunyai kholifah.18 Jelas sekali berdasar hadits mutawatir ini, bahwa jihad fi sabilillah akan senantiasa berjalan sampai hari kiamat nanti meski kholifah tidak ada. Saat itulah kaum muslimin akan mengangkat seorang di antara mereka sebagai pemimpin jihad sebagaimana dikerjakan para shahabat pada perang Mu’tah dan saifudin Quthz pada perang ‘Ainu Jaluth. Bahkan tidak adanya kholifah merupakan salah satu faktor pendorong jihad untuk mengangkat seorang kholifah yang menegakkan dien dan mengatur dunia berdasar syariat Islam. Jalan selamat yang diterangkan oleh hadits mutawatir adalah setiap muslim berjihad bersama thoifah manshurah. Bila tidak, ia akan termasuk thoifah mukhodzilah atau bahkan thoifah mukholifah (kafir). Naudzu Billah. Seberapapun banyaknya syubhat yang disebarkan oleh thoifah mukhodzilah dan seberapapun besarnya makar yang dilancarkan oleh thoifah mukholifah, thoifah manshurah akan menang sampai hari kiamat nanti.
    Dengan demikian jelaslah bahwa adanya imam syar’i yaitu khalifah bukan merupakan syarat wajibnya jihad. Ada khalifah atau tidak ada khalifah, kewajiban jihad tetap wajib dilaksanakan. Jihad akan senantiasa ada dan wajib dilaksanakan sampai hari kiamat, baik dengan adanya khalifah maupun tanpa adanya khalifah.
    Syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi mengatakan,” Bahkan jihad tetap terlaksana meski kaum muslimin tidak mempunyai imam (kholifah), karena nash-nash syar’i telah memerintahkan jihad tanpa mensyaratkan adanya imam yang berkuasa, bukan seperti yang dikira oleh sebagian kaum kontemporer yang berpendapat demikian (wajib adanya kholifah baru jihad bias dilaksanakan). Dalam kondisi seperti ini, kelompok yang berjihad harus memeilih seorang amir yang sholih, mereka berperang di belakangnya.”19
    Terhadap para penggembos jihad yang menyebarkan syubhat tidak adanya jihad tanpa kholifah, Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan :
    “ Dengan kitab (ayat Al Qur’an) yang mana, atau dengan hujah yang mana (dikatakan) bahwa jihad itu tidak wajib kecuali bersama seorang imam (khalifah) yang diikuti ?.
    Pensyaratan ini merupakan pengada-adaan dalam dien dan penyelewengan dari jalan kaum mukminin. Dalil-dalil yang membatalkan pensyaratan ini sangat terkenal untuk disebutkan. Di antaranya adalah keumuman perintah berjihad dan hasungan untuk berjihad serta ancaman meninggalkan jihad. Allah berfirman :
    وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ
    “ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (2:251)
    وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِمَتْ صَوَامِعُ
    “ Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,” (22:41).
    Setiap orang yang berjihad di jalan Alah berarti telah mentaati Allah dan melaksanakan hal yang difardhukan oleh Allah. Seorang imam tidak akan menjadi imam kecuali dengan jihad. Jadi bukan tidak ada jihad tanpa adanya imam. Yang benar adalah kebalikan yang kamu katakan hai laki-laki. Allah telah berfirman :
    قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُوْمُوْا للهِ مَثْنَى وَفُرَادَى
    Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; (34:46)
    Allah juga berfirman:
    وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ
    ” Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (29:69)
    Dalam hadits :
    لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي …
    “ Akan senantiasa ada sekelompok umatku…”. Thoifah (sekelompok umat Islam yang berjihad di atas kebenaran) ini, al hamdu lilah, ada dan berkumpul di atas kebenaran, mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Allah berfirman :
    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
    “ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (5:54). Maknanya Allah Maha Luas karunia dan pemberian-Nya, Maha Mengetahui siapa yang layak untuk berjihad.
    Pengalaman-pengalaman dan dalil-dalil yang menunjukkan batilnya pernyataanmu sangat banyak sekali terdapat dalam Al Qur’an, as sunah, sirah dan akhbar. Perkataan para ulama yang mengerti dalil-dalil dan atsar hampir tidak tersembunyi (karena begitu jelasnya-pent) atas diri orang yang bodoh sekalipun, jika ia mengetahui kisah shahabat Abu Bashir ketika ia berhijrah, lalu orang-orang Quraisy menuntut Rasulullah untuk mengembalikan Abu Bashir kepada mereka berdasarkan syarat dalam perjanjian Hudaibiyah. Abu Bashir meloloskan diri dari mereka setelah membunuh dua orang musyrik yang datang untuk membawanya.
    Ia kembali ke pantai ketika mendengar Rasulullah bersabda :
    وَيْلُ أُمِّهِ مُسْعِرُ حَرْبٍ لَوْ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ
    “ Duhai ibunya, ia bisa menyalakan peperangan seandainya bersamanya ada orang lain.”
    Maka Abu Bashir menghadang kafilah-kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Ia merampas dan membunuh. Ia indipenden memerangi mereka tanpa Rasulullah, karena mereka terlibat perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah. –Beliau menceritakan kisahnya secara panjang lebar— Apakah Rasulullah bersabda kepada mereka (Abu Bashir dan kawan-kawan),” Kalian telah berbuat salah karena memerangi orang Quraisy tidak bersama imam ?
    Subhanallah, alangkah besarnya bahaya kebodohan atas diri orang yang bodoh ? Kami berlindung kepada Allah dari menentang kebenaran dengan kebodohan dan kebatilan. Allah berfirman :
    شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ
    “ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (42:13)20
    Adalah lucu meninggalkan jihad dengan alasan tidak ada imam syar’i karena imam syar’i tidak akan ada bila tidak diangkat. Imam syar’i bukanlah hujan yang turun dari langit, ia akan ada dengan usaha dari umat Islam. Karena itu, umat Islam yang mampu berjihad harus tetap berjihad dan mereka mengangkat salah seorang di antara mereka yang capable sebagai imam (pemimpin) yang mengatur dan memimpin mereka. Pemimpin yang dipilih hendaklah yang paling mampu, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab :
    “ Setiap orang yang melawan musuh dan bersungguh-sungguh menahannya, maka ia telah berjihad, inim hal yang pasti. Setiap thoifah (kelompok) yang berbenturan dengan musuh-musuh Allah, mereka harus mempunyai pemimpin-pemimpin yang menjadi tepat kembali dan mengatur mereka. Sedang orang yang paling berhak memimpin adalah orang yang menegakkan dien, orang yang paling mampu kemudian orang yang kemampuannya dibawahnya, sebagaimana hal ini telah menjadi realita. Jika manusia mengikutinya, mereka bisa melaksanakan hal yang wajib, maka terjadilah saling menolong dalam kebajikan dan taqwa dan akan kuatlah urusan jihad. Adapun jika manusia tidak mengikutinya, maka mereka berdosa besar karena mereka menghinakan (menjadi sebab hinanya) Islam.
    Adapun orang yang melaksanakannya (pemimpin kelompok jihad tadi), semakin sedikit pembantu dan penolongnya akan semakin besar pahala baginya sebagaimana ditunjukkan oleh al kitab, as sunah dan ijma’. Allah berfirman :
    وَجَاهِدُوْا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
    “ Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” [Qs. Al Hajj:78].
    وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا …
    “ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [Qs. Al Ankabut :69].
    أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا..
    “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya.” [Qs. Al Hajj :39].
    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ
    “ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” [Qs. Al Maidah ;54].
    فَاقْتُلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ….
    “ Maka bunuhlah orang-orang musyrik…” [QS. At Taubah :5].
    كَمْ مِنْ فِئَةٍ..
    “ Berapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak dengan idzin Allah.” [Qs. Al Baqarah :249].
    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ..
    “ Wahai nabi, kobarkanlah semangat kaum beriman untuk berperang.” [QS. Al Anfal :65].
    كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ….
    “ Diwajibkan atas kalian berperang.” [QS. Al Baqarah :216].
    Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban jihad akan tetap ada sampai hari kiamat dan yang terkena kewajiban ini adalah kaum mukminin. Jika ada thoifah yang berkumpul an mempunyai kekuatan, kelompok ini wajib berjihad fi sabilillah sesuai kemampuannya. Sekali-kali kewajiban jihad tidak gugur dari kelompok tersebut, tidak juga gugur atas semua kelompok, berdasar ayat-ayat yang telah disebutkan, juga berdasar hadits “ Akan senantiasa ada sekelompok umatku.”
    Maka dalam al kitab dan as sunah tidak ada dalil yang menunjukkan jihad itu gugur dalam suatu kondisi tertentu (seperti syubhat tidak ada khalifah—pent), atau jihad itu wajib satu pihak dan tidak wajib atas pihak yang lain, kecuali pengecualian yang disebutkan dalam surat al Baraah.21 Perhatikanlah firman Allah :
    وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ
    “ Dan Allah benar-benar akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” [Qs. Al Hajj :40].
    وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
    “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” [Qs. Al Maidah :56].
    Semua ayat ini menunjukkan makna umum tanpa pengkhususan, maka ke manakah perginya akal kalian dari Al Qur’an ini ? Engkau telah mengetahui dari penjelasan yang telah lewat bahwa khithab Allah mengenai setiap mukallaf baik yang terdahulu maupun orang yang belakangan, dan bahwasanya dalam Al Qur’an ada khithab tentang sebagian syariat dengan lafal yang khusus namun maksudnya umum22, seperti firman Allah Ta’ala :
    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَ الْمُنَافِقِيْنَ
    “ Wahai nabi, berjihadlah memerangi orang-orang kafir dan munafiq.” [Qs. At Taubah : 73].
    Penjelasan tentang hal ini telah lewat, Al hamdu lillah, hal ini telah diketahui di kalangan ulama, bahkan di kalanagn setiap orang yang belajar ilmu dan hukum. Karena itu kami cukupkan dengan penjelasan ini saja. Wabillahi Taufiq.”23
    Syaikh Abu Bashir Musthofa Abdul Mun’im Halimah menerangkan kebatilan pensyaratan jihad harus bersama kholifah ini dengan menyebutkan berbagai dalil ::
    * Firman Allah Ta’ala :
     فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْساً وَأَشَدُّ تَنْكِيلاً 
    “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).” [QS. An Nisa’ :84].
    Ini adalah nash yang menunjukkan bahwasanya jihad akan tetap berlanjut meskipun oleh seorang secara sendirian !!! Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya24 V/293 mengatakan,” Imam Az Zujaj berkata,” Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk berjihad sekalipun ia berperang sendirian karena Allah telah menjamin beliau akan meraih kemenangan. Imam Ibnu ‘Athiyah berkata,” Inilah makna dhahir lafal ayat, hanya saja tidak ada sebuah haditspun yang menunjukkan bahwa jihad wajib atas beliau saja dan tidak wajib atas umatnya untuk suatu masa tertentu. Makna ayat ini, wallahu a’lam, bahwasanya khithab ayat ini secara lafal ditujukan kepada beliau. Ini seperti perkataan yang ditujukan kepada perorangan. Artinya, kamu wahai Muhammad dan setiap orang dari umatmu, katakan kepadanya “ Berperanglah di jalan Allah, engkau tidak dibebani kecuali atas dirimu sendiri.”
    Karena itu sudah sewajarnya bagi setiap mukmin untuk berperang walaupun sendirian. Ini ditunjukkan juga antara lain oleh sabda Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam :
    :” والله لأقاتلنهم حتى تنفرد سالفتي
    Demi Allah, aku akan tetap memerangi mereka meski tinggal sendirian.” Juga perkataan Abu Bakar saat terjadi peristiwa kemurtadan penduduk arab,” Seandainya tangan kananku menyelisihku, tentulah aku akan tetap berjihad melawan mereka dengan tangan kiriku.”
    * Allah berfirman :
    إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
    “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.“ [QS. At Taubah :111].
    Jual beli ini telah sempurna, mencakup seluruh rentang masa hidup orang mukmin, tidak boleh dinihilkan ataupun dibiarkan dalam satu masa tanpa masa yang lain.
    Karena itu barang siapa mensyaratkan adanya khalifah umum untuk menghidupkan faridzah jihad, berarti konskuensinya ia membatalkan akad jual beli yang telah terjadi di antara Allah dan hamba-hamba-Nya ini…selama rentang masa tidak adanya khalifah selama puluhan tahun yang mengakibatkan binasanya beberapa generasi secara keseluruhan sperti kondisi zaman kita sekartang ini!!!
    Dengan hak atau kekuasaan apa dikatakan kepada generasi-generasi umat Islam (saat ini),” Kalian termasuk pengecualian dari jual beli ini selama masa tidak adanya khalifah, yang kadang berlanjut lebih dari seratus tahun ???
    * Dalam hadits :
    سلمة بن نفيل الكندي، قال: كنت جالساً عند رسول الله ، فقال رجل: يا رسول الله، أزال الناس الخيل، ووضعوا السلاح، وقالوا: لا جهاد، قد وضعت الحرب أوزارها‍‍‍‍! فأقبل رسول الله  بوجهه وقال :” كذبوا! الآن، الآن جاء القتال، ولا يزال من أمتي أمة يقاتلون على الحق، ويزيغ الله لهم قلوب أقوام ويرزقهم منهم، حتى تقوم الساعة، وحتى يأتي وعد الله، والخيل معقود في نواصيها الخير إلى يوم القيامة “[25].

    Dari Salamah bin Nufail Al Kindi ia berkata,’ Saya duduk di sisi Nabi, maka seorang laki-laki berkata,” Ya Rasulullah, manusia telah meninggalkan kuda perang dan menaruh senjata. Mereka mengatakan,” Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai.” Maka Rasulullah menghadapkan wajahnya dan besabda,” Mereka berdusta !!! Sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan senantiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki umat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiyamat, dan sampai datangya janji Allah. Kebaikan senantiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat.”
    Beliau juga bersabda:
    لا تزال طائفة من أمتي يُقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة
    ” Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang sampai hari kiamat.” [HR. Muslim].
    Kata “thoifah /kelompok/golongan” dipakai untuk satu orang atau lebih, seperti firman Allah :
    : إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ التوبة:66.

    “Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [QS. At Taubah :66].
    Dalam tafsirnya imam Al Qurthubi mengatakan,” dikatakan bahwa mereka berjumlah tiga orang. Dua orang mengejek dan seorang lagi hanya tertawa. Yang dimaafkan adalah seorang yang tertawa dan tidak berkata.”26
    Kelompok yang dimaafkan hanya beranggotakan seorang saja, dan kita telah menyaksiakan jihad tetap berjalan meski pelakunya hanya seorang saja. Seorang dengan kesendiriannya disebut thoifah (kelompok). Jika memang demikian, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat berjalannya jihad ??? Rasulullah bersabda :
    وقال :” لن يبرح هذا الدين قائماً يُقاتل عليه عصابةٌ من المسلمين حتى تقوم الساعة ” مسلم.

    “ Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat.” [HR. Muslim].
    Kata ‘Ishobah (kelompok) disebutkan untuk menunjukkan jumlah tiga dan seterusnya, jika perang membela dien dan kehormatan dien ini terlaksana dengan kelompok yang beranggotakan tiga orang atau lebih, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat terlaksananya jihad ? Bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat dilaksankaannya jihad padahal jihad tetap terlaksana oleh seorang, oleh tiga orang atau lebih, sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits ini ? Rasulullah bersabda :
    وقال :” الخيل معقود بنواصيها الخير إلى يوم القيامة؛ الأجر والغنيمة ” مسلم.
    “ Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat : pahala dan ghonimah.” [HR. Muslim]. Hadits ini berlaku untuk zaman ada kholifah dan zaman tidak ada kholifah, tak ada sesuatu hal pun yang bisa menghentikannya.
    وقال :” إن الهجرة لا تنقطع ما كان الجهاد “[27]. وفي رواية:” لا تنقطع الهجرة ما جوهد العدو “.
    Beliau juga bersabda,” Hijrah tak akan berhenti selama masih ada jihad.” Dalam riwayat lain,” Hijrah tak akan berhenti selama musuh masih diperangi.” Sebaliknya, beliau juga bersabda:
    :” لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها “[28].
    “ Hijrah tak akan berhenti sampai taubat terhenti. Taubat tak akan terhenti sampai matahari terbit dari barat.”
    Ini menguatkan bahwa jihad tak akan berhenti sampai taubat berhenti, sementara taubat tak akan berhenti sampai matahari terbit dari barat, hari di mana “ iman seseorang tidak memberinya manfaat karena sebelumnya ia tidak beriman” [Qs. Al An’am :158]. Karena hijrah akan senantiasa ada selama jihad masih ada berdasar dilalah nash. Jika kita nyatakan jihad terhenti dengan tidak adanya kholifah, maka konskuensinya hijrah juga terhenti, konskuensi selanjutnya taubat juga terhenti. Pendapat ini jelas tidak boleh karena menyelisihi dalil-dalil yang shorih (tegas) dan ijma’ umat.
    Adapun dilalah mafhum nash, As sunah menunjukkan adanya mujahidin —yang merupakan thoifah manshurah—dan keberadaan mereka yang akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Eksistensi mujahidin sampai hari kiamat ini mengandung konskuensi terus berlangsungnya jihad—salah satu sifat thaoifah manshurah—tanpa terhenti. Jika secara dhohir jihad, yang ada adalah i’dad untuk jihad dan i’dad merupakan bagian dari jihad. Kewajiban i’dad sama dengan kewajiban jihad karena jihad tak akan sempurna tanpa i’dad, sementara qaidah menyatakan “ Suatu kewajiban bila tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib.” Seorang muslim hanya mempunyai dua pilihan; antara berjihad fi sabilillah atau beri’dad untuk jihad saat kewajiban jihad gugur karena kelemahan (tidak ada kemampuan)…Ia tidak mempunyai pilihan ketiga.
    * Sunah29 menunjukkan wajibnya melawan kholifah yang telah kafir dan wajibnya mengangkat kholifah muslim yang baru. Jika jihad harus bersama kholifah, sementara kholifahnya telah kafir ; maka bagaimana cara jihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Siapa yang berjihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Kholifah –padahal dia telah kafir—ataukah umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir ? Tentu saja umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir tersebut.”30
    Syaikh Ibrahim Al Khudry berkata,” Jika ada yang bertanya,” Jihad hanya boleh diserukan oleh seorang Imam ( kholifah), sementara pada hari ini kaum muslimin telah terpecah belah, tiap-tiap wilayah dipimpin oleh imam ( penguasa ) masing-masing. Lalu siapakah yang berhak menyerukan panggilan jihad ?.”
    Jawabannya:
    Al hamdulillah. Jika Imam suatu wilayah telah menyerukan panggilan jihad, wajib bagi wilayah penduduk tersebut berperang melawan kaum kafir. Demikian pula Imam suatu wilayah lain, wajib bagi segenap kaum muslimin untuk menyambut panggilan tersebut. Jika kaum mujahidin dipimpin oleh seorang Amir, lalu Amir tersebut menyerukan panggilan jihad, mereka wajib mentaatinya. Hingga sekarang keamiran seperti itu masih ada dan akan tetap ada sampai akhir zaman. Contohnya di wilayah Afganistan. 31
    Syubhat tidak ada jihad selama tidak ada kholifah merupakan syubhat yang sangat berbahaya.
    1-Syubhat ini sama sekali tidak berdasar dalil baik Al Qur’an, As Sunah, ijma’ salaf maupun perkataan para ulama salaf. Bahkan bertentangan dengan nash-nash tegas Al Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’ salaf.
    2-Syubhat ini sebenarnya merupakan aqidah kaum Rafidzah. Imam Ath Thohawi berkata,” Haji dan jihad akan tetap berjalan bersama para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang bijaksana maupun yang jahat, tak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya.” Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy menjelaskan perkataan ini dengan mengatakan,” Syaikh mengisyaratkan bantahan atas kaum Rofidzah di mana mereka mengatakan,” Tidak ada jihad fi sabilillah sampai keluar ar ridho dari keturunan Nabi Muhammad dan seorang penyeru menyeru dari langit,” Ikutilah dia !” Kebatilan pendapat ini sudah jelas sekali sehingga tak perlu lagi ditunjukkan dalil yang menunjukkan kebatilannya.”32 Ketika aqidah ini memberatkan mereka sendiri, mereka tidak konskuen dengan aqidah ini, di mana mereka tetap mengadakan revolusi Khomeini dan mengadakan pemerintahan dengan nama “wilayatul Faqih.” Pelopor lain yang menyebarkan syubhat ini adalah Ahmad Ghulam Al Qodiyani, si nabi palsu India yang mengabdi kepada imperialis Inggris.
    3-Yang memetik keuntungan terbesar dari syubhat ini adalah tentara imperialis salibis, zionis, komunis dan pemerintah-pemerintah sekuler di dunia Islam yang memusuhi Islam dan loyal kepada negara kafir barat.
    4-Syubhat ini berarti mensalahkan dan mencela (jarh) salafush sholih dan para ulama yang tsiqot :
    Berarti menuduh para shahabat yang berjihad tanpa izin kholifah ketika kholifah ada dengan tuduhan berbuat dosa, berhak mendapat adzab Allah dan bunuh diri. Shahabat yang tertuduh adalah Abu Bashir dan kawan-kawan. Karena saat itu kholifah mengikat gencatan senjata 10 tahun dengan kafir Quraisy.
    Berarti menuduh Husain bin ali dan Abdullah bin Zubair serta seluruh shahabat dan tabi’in yang membela keduanya sebagai pelaku dosa besar (bunuh diri, maksiat kepada imam), padahal saat itu tidak ada kholifah syar’i yang umum atas seluruh kaum muslimin.
    Demikian juga daulah Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah melewati beberapa masa di mana mereka mengadakan jihad padahal kondisi belum pulih sehingga mereka tidak bisa dikatakan sebagai kholifah umum bagi seluruh kaum muslimin. Meski demikian, tak seorangg ulama pun yang mengatakan jihad mereka tidak masyru’ dengan alasan jihad mereka tidak berasal dari izin kholifah umum.
    Berarti menuduh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengikut beliau yang berjihad melawan Tartar, serta syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjihad membberantas kesyirikan di Nejed, sebagai orang-orang berdosa karena berjihad tanpa izin kholifah dan mereka berada di neraka Jahannam karena maksiat kepada kholifah dan melakukan aksi bunuh diri.
    Berarti menuduh jihad umat Islam yang mengusir imperialis kafir seperti di Palestina, Afghanistan, Chechnya, Moro, Patani, Kashmir dan lain-lain sebagai sebuah perbuatan haram, maksiat dan bunuh diri. Artinya harus menyerahkan tanah air kepada musuh Islam dengan suka rela.
    Berarti mengajak umat untuk meninggalkan jihad dan tenggelam dengan kenikmatan dunia, sampai nanti datangnya kholifah.

  30. bagus ceritanya…

  31. mampir baca

  32. Yuk..jihad.di mulai dari diri kita sendiri,krn dlm diri kita juga ada musuh yaitu hawa nafsu,menyebarkan ilmu dan memerangi kebodohan juga jihad.Berjihadlah dgn ilmu jgn dgn hawa nafsu.

  33. Akar Perlawanan yang Keliru (1-5)
    Kategori Bantahan buku “Aku Melawan Teroris” | 13 Syawal 1431 H / 23-09-2010
    Dalam bab ini, akan diuraikan beberapa catatan berkaitan dengan pemahaman Imam Samudra terhadap jihad. Dan hal ini termasuk masalah prinsip yang merupakan dasar kekeliruan Imam Samudra dalam bukunya.
    1. Kekeliruan Seputar Definisi Jihad
    Berkata penulis, “
    Pengertian Jihad
    Dari segi bahasa (etimologi), secara simpel jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan. Dalam hal ini, seseorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak bisa dikategorikan jihad.
    Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya.
    Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Pengertian syar’i ini lebih terkenal dengan sebutan “jihad fi sabilillah”. Seingatku, ketiga definisi di atas telah menjadi ijma’ (konsensus) para ulama Salafush-Shalih, terutama dari kalangan empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Jadi tidak ada perselisihan pendapat, dalam hal ini pendefinisian jihad.” [1]
    Tanggapan
    Ada tiga catatan untuk ucapan penulis di atas;
    Pertama
    Ucapan penulis, “Dalam hal ini, seseorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak bisa dikategorikan jihad” adalah ucapan yang tidak ada manfaatnya di sini. Sebab bila dikatakan jihad secara bahasa adalah bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan, artinya bersungguh-sungguh dalam seluruh perkara. Maka tidak perlu sebenarnya penulis memberi contoh dengan “mencari jejak” yang akan mengesankan –kalau tidak memastikan- bahwa penulis terlalu mencari pembenaran terhadap aksi peledakan yang dilakoninya. Kemudian kata “mencari jejak” mungkin bermakna baik dan mungkin bermakna buruk sesuai dengan ragam jejak yang dia cari.
    Seharusnya penulis tidak memberi contoh bukan pada tempatnya sehingga membuka pintu yang terlalu luas dalam memahami arti jihad.
    Jihad secara bahasa memang punya hubungan dengan jihad secara syar’i namun yang menjadi patokan hukum adalah pengertian secara syar’i.
    Kedua
    Ucapan penulis, “Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya. Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin.” adalah membolak-balik antara definisi yang disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka.
    Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendefinisikan jihad secara istilah (terminolagi), “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [2]
    Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih dari berbagai madzhab bahwa jihad secara istilah adalah “muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.”
    Adapun secara syar’i jihad mempunyai cakupan umum meliputi empat perkara;
    Pertama : Jihadun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri sendiri)
    Kedua : Jihadusy Syaithon (Jihad melawan syaithon)
    Ketiga : Jihadul Kuffar wal Munafiqin (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munanafqin)
    Keempat : Jihad Arbabuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarat (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran).
    Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahany menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’ala,
    “Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [3]
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan mengakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [4]
    Dan telah berlalu pembahasan secara terperinci dalam Bab II yang berkaitan dengan jihad.
    Sekedar kami isyaratkan dengan perbandingan di atas bahwa penulis sangatlah timpang dalam memahami definisi jihad. Kemudian para pembaca bisa mengukur, apakah orang yang keadaannya seperti ini pantas untuk berbicara tentang masalah jihad yang sangat detail dan butuh keilmuan yang mendalam?
    Kemudian ucapannya, “Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya”, adalah definisi yang lebih diwarnai oleh dasar pemikiran penulis yang berarus Khawarij, di mana mereka mengangkat seluruh masalah agama dengan nama memperjuangkan hukum Allah. Adalah kewajiban penulis untuk membuktikan bahwa ada dari kalangan ulama yang diakui dari dahulu hingga sekarang yang mendefinisikan jihad secara istilah dengan makna memperjuangkan hukum Allah.
    Dan kami mengakui bahwa memperjuangkan hukum Allah bagian dari jihad dalam makna yang umum, namun, itu bukanlah makna secara istilah sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka.
    Ketiga
    Ucapan penulis, “Seingatku, ketiga definisi di atas telah menjadi ijma’ (konsensus) para ulama Salafush-Shalih, terutama dari kalangan empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Jadi tidak ada perselisihan pendapat, dalam hal ini pendefinisian jihad.”
    Kandungan dari apa telah kami jelaskan tentang definisi jihad secara istilah maupun syar’i memang tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama dan semuanya terhitung fi sabilillah. Adapun rincian yang disebutkan oleh penulis telah diketahui kritikan padanya. Dan kelihatannya kerancuan rincian penulis akibat jurus “Seingatku”, sebuah jurus yang sangat konyol dalam ring penulisan.
    Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ilmu itu dua hal; kadang penukilan yang terpercaya, dan kadang pembahasan yang penuh tahqiq (kejelasan, kepastian) dan selain itu adalah igauan yang dicuri.” [5] Wallahu A’lam.
    2. Kekeliruan Seputar Hukum Jihad
    Penulis berkata, “Lebih dari itu, panggilan suci itu akhirnya lebih wujud sebagai perintah suci dari Allah Yang Maha Suci.
    Perangilah mereka (orang-orang kafir itu), kelak Allah akan menyiksa mereka dengan perantara tangan-tangan kamu…(At-Taubah: 14).
    Ya! PERANGILAH MEREKA !!
    Siapa yang berani menyangkal bahwa itu adalah perintah Allah? Sedangkan semua Ulama ushul fiqh mengerti bahwa, “Status dari perintah (dari Allah) adalah wajib, sampai datang keterangan lain yang mengubah kepada status selain wajib.”
    Akhirnya, penggilan suci menjadi perintah suci, dan menjadi kewajiban suci. Mengerjakannya mendapat pahala dan meninggalkannya mengakibatkan kita beroleh dosa. Bahkan bukan sekadar dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam mereka yang meninggalkan jihad dengan siksa yang pedih, siksa yang berat,
    Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih!…(At-Taubah: 39)
    Kalau Allah menyiksa kita dengan siksaan yang pedih, adakah selain-Nya yang mampu menyelamatkan kita dan menghentikan siksa-Nya? Adakah siksa yang lebih pedih dari siksa Allah? Hanya manusia-manusia tolol, bodoh, idiot, dan mati hati sajalah yang tidak takut akan ancaman Allah Yang Maha Gagah! Yang Maha Kuat! Yang Maha Perkasa!
    Aku hanya secuil debu di antara segelintir manusia yang sangat takut dengan ancaman Allah tersebut. Dan aku sama sekali tidak punya sepotong alasan pun untuk tidak menjalankan kewajiban suci tersebut…” [6]
    Tanggapan
    Dalam ucapannya di atas terkandung bebarapa kesalahan yang cukup memperihatinkan, di antaranya,
    1. Kelancangan penulis menjatuhkan hukum siksa dan ancaman Allah bagi siapa yang tidak menegakkan jihad di zaman ini. Seakan-akan tidak ada lagi yang mendapat udzur-udzur syar’iy dalam hal tersebut.
    2. Penetapan hukum wajib secara mutlak tanpa memperhatikan syarat-syarat ditegakkannya sebuah jihad dalam timbangan syari’at. Padahal suatu hal yang sudah merupakan kesepakatan para ulama bahwa jihad hukumnya adalah fardhu kifayah yang bila sebagian dari kaum muslimin telah menegakkannya maka gugurlah dosa terhadap yang lainnya, dan menjadi fardhu ‘ain atas setiap muslim pada empat keadaan sebagaimana yang telah dijelaskan, dan jihad wajib ditegakkan di bawah kepemimpinan seorang penguasa muslim dan ada kekuatan yang cukup pada kaum muslimin.
    3. Memakai kaidah ushul fiqh bukan pada tempatnya. Kaidah yang dipakai oleh penulis memang benar, tapi penulis –sebagaimana kebiasaannya, hanya mengambil sebagian dalil dan meninggalkan sebagian yang lain- kurang pandai menggunakan kaidah tersebut, di mana sejumlah dalil disebutkan oleh para ulama di berbagai buku fiqh yang menunjukkan adanya rincian detail tentang hukum asal jihad dan syarat-syaratnya.
    4. Gaya penuturan penulis sangatlah mirip dengan kebiasaan orang-orang Khawarij dalam penerapan dalil-dalil ancaman tanpa melihat kepada dalil-dalil lainnya. Dan penetapan hukum wajib untuk berjihad secara mutlak dan memperhatikan syarat-syarat wajibnya juga merupakan salah satu ciri mereka yang diikuti oleh penulis di sini.
    3. Kekeliruan Berkaitan Marhaliyyah (tahapan-tahapan) Jihad
    Penulis berkata, “Untuk sampai kepada pemahaman yang utuh dan baik tentang Operasi Jihad Bom Bali, paling tidak harus memahami marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad yang disyariatkan dalam Islam menurut pemahaman Salafush-Shalih…” kemudian penulis menyebutkan empat tahapan dari jihad,
    Tahap I : Menahan Diri
    Tahap II : Diizinkan Berperang
    Tahap III : Diwajibkan Memerangi Secara Terbatas
    Tahap IV : Kewajiban Memerangi Seluruh Kaum Kafir/Musyrik.
    Kemudian penulis menyimpulkan, “Menurut Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhu., seperti disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ayat: “Maka maafkanlah dan biarkan mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-Baqarah: 109), telah dimansukh (diganti) oleh ayat 5 dan ayat 29 surat At-Taubah. Demikian pula pendapat Abu ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan As-Sudi, bahwa ayat di atas telah dimansukh oleh Ayat Pedang (ayatus saif; ayat 5 dan 29 surat At-Taubah). Dengan turunnya ayatus saif ini, maka segala perjanjian yang pernah ada antara Nabi Muhammad saw. Dengan kaum musyrikin dihapuskan. Pada periode ini, seluruh kaum musyrikin diperangi, kecuali jika mereka bertaubat, masuk Islam, mendirikan sholat, dan membayar zakat…” kemudian penulis berkata, “Dengan demikian, turunnya ayatus saif dan ayat ke-36 juga surat At Taubah, merupakan tahapan akhir dari syariat jihad. Dimana, surat ini merupakan surat terakhir yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw.” [7]
    Tanggapan
    Tidak diragukan bahwa jihad memang mempunyai marhaliyyah (tahapan-tahapan), diuraikan secara lengkap dalam sirah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan didukung oleh nash-nash syar’iy. Sehingga para ulama menyimpulkan hal tersebut dalam empat tahapan[8] :
    Tahapan Pertama : Menahan diri dari melakukan peperangan. Dan ini merupakan tahapan yang paling lama dalam sirah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
    “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa` : 77)
    Tahapan Kedua : Sekedar izin berperang tanpa ada nash perintah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
    “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata: “Rabb kami hanyalah Allah”.” (QS. Al-Hajj : 39-40)
    Tahapan Ketiga : Hanya memerangi orang-orang yang memerangi kaum muslimin dan menahan diri dari selainnya. Dalilnya adalah firman-Nya,
    “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah : 190)
    Tahapan Keempat : Memerangi orang-orang kafir hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (upeti). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
    “Kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (QS. Al-Fath : 16)
    “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29)
    Demikian tahapan-tahapan kewajiban jihad. Dan kami tidak memberikan cacatan untuk Imam Samudra dalam masalah marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad tersebut. Namun, yang menjadi letak pembahasan disini adalah kesimpulan yang ia pahami dari marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad tersebut.
    Penulis memahami bahwa tahapan keempat adalah “merupakan tahapan akhir dari syariat jihad” [9], dan ia menghapus seluruh tahapan sebelumnya. Penulis menyatakan “Menurut Ibnu ‘AbbasRadiyallahu ‘anhu., seperti disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ayat: “Maka maafkanlah dan biarkan mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-Baqarah: 109), telah dimansukh (diganti) oleh ayat 5 dan ayat 29 surat At-Taubah. Demikian pula pendapat Abu ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan As-Sudi, bahwa ayat di atas telah dimansukh oleh Ayat Pendang (ayatus saif; ayat 5 dan 29 surat At-Taubah). Dengan turunnya ayatus saif ini, maka segala perjanjian yang pernah ada antara Nabi Muhammad saw.” [10]
    Tanggapan
    Kesimpulan penulis di atas merupakan salah satu hal yang melandasi kekeliruan pemahamannya sehingga ia menjatuhkan hukum wajib jihad secara mutlak dan menvonis hukum siksa dan ancaman Allah bagi siapa yang tidak menegakkan jihad di zaman ini -sebagaimana yang telah lalu-.
    Dan kekeliruan kesimpulannya di atas bisa diuraikan dari beberapa sisi:
    Satu : Merupakan kaidah dasar dalam memahami sebuah nash syar’iy adalah mengamalkan seluruh nash tersebut dan mengkompromikannya bila terkesan ada pertentangan antara nash-nash tersebut. Dan inilah seharusnya yang ditempuh dalam memahami tahapan-tahapan jihad di atas, diamalkan sesuai dengan kondisi yang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya menerapkannya.
    Dua : Anggapan penulis bahwa ayatus saif telah memansukhkan ayat-ayat yang memberi makna sabar dan memaafkan orang kafir dengan membawakan pendapat beberapa nama ulama tafsir adalah merupakan suatu kesalahan dalam memahami makna mansukh dalam istilah para ulama. Penulis menerjamah kalimat mansukh dengan makna “diganti”, menunjukkan bahwa penulis mendefinisikan mansukh disini dengan istilah orang-orang belakangan. Sedangkan istilah para ulama terdahulu dalam menggunakan kalimat mansukh lebih luas cakupannya dari itu. Kadang mereka menggunakan kalimat mansukh pada hal yang dikhususkan sisi pendalilannya, pada nash yang mutlak yang dikembalikan kepada nash muqayyad (terbatas), bahkan kadang menjelaskannya dengan teks lainnya mereka anggap naskh. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.[11] Dan Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan sejumlah contoh yang menunjukkan bahwa kadang para ulama mengatakan “nash ini adalah mansukh” tapi yang mereka inginkan bukan terhapus hukumnya, melainkan dikhususkan kandungan, dibatasi atau ditafsirkan.[12]
    Perhatikanlah wahai para pembaca, betapa pentingnya mengetahui ilmu-ilmu agama secara mendetail. Kurang memahami hakikat makna “Mansukh” saja menjatuhkan penulis dalam sebuah kesalahan besar; menganggap bahwa tahapan keempat telah menghapus tahapan-tahapan sebelumnya.
    Tiga : Setelah memahami uraian di atas, maka akan bisa dipahami betapa luas keilmuan Ibnu Taimiyah rahimahullah tatkala beliau memahami tahapan-tahapan jihad di atas. Beliau berkata, “Siapa saja dari kaum mukminin berada pada sebuah negeri yang ia lemah padanya, atau pada suatu waktu yang ia lemah padanya, maka hendaknya ia beramal dengan ayat tentang sabar dan memaafkan orang-orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyriki. Adapun orang-orang yang kuat, hendaknya ia beramal dengan ayat tentang memerangi Ahlul Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” [13]
    4. Kepemimpinan Jihad Versi Imam Samudra
    Penulis menyatakan, “Ketiadaan Khilafah atau Daulah Islamiyah saat ini, tidak menghalangi terselenggaranya jihad. Seharusnya ketiadaan Khalifah atau Amir (pemimpin) Islam tidak pula menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad berhenti atau tertunda. Ibnu Qudamah berkata: “Sesungguhnya ketiadaan Imam tidak mengakibatkan jihad tertunda, karena kemaslahatan jihad akan terganggu dengan penundaan tersebut.”.” [14]
    Tanggapan
    Makna ucapan penulis di atas, bahwa boleh menyelenggarakan jihad walaupun tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemerintah muslim. Dan ini merupakan salah satu prinsip dasar kaum Khawarij yang menyelesihi nash-nash jelas nan tegas yang telah berlalu uraiannya dalam bab-bab yang berkaitan dengan jihad.
    Andaikata penulis hanya menyandarkan prinsipnya ini kepada dirinya semata, maka itu adalah suatu hal yang wajar dan ringan. Namun penulis di sini memberikan kerancuan yang sangat besar kepada para pembaca tatkala ia menyandarkan hal tersebut kepada Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasy rahimahullah, salah seorang tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ternama.
    Saya tidak mengetahui cetakan kitab Al-Mughni mana yang dipakai oleh penulis dalam pengacuannya terhadap ucapan Ibnu Qudamah tersebut.
    Tapi dugaan besar saya, bahwa penulis menukil ucapan Ibnu Qudamah itu dari orang lain dengan mengambil catatan jilid dan halamannya. Sehingga penulis terjatuh dalam menisbatkan sesuatu kepada Ibnu Qudamah, apa yang beliau tidak ucapkan.
    Apa yang dinukilkan oleh penulis dari Ibnu Qudamah dengan redaksi di atas, kami tidak ketemukan dalam kitab Al-Mughny dalam pembahasan Jihad. Bahkan yang kami ketemukan adalah ucapan-ucapan yang sangat berseberangan dengan nukilan penulis. Diantaranya, Ibnu Qudamah menekankan keyakinan seluruh ulama Ahlus Sunnah akan harusnya jihad dibelakang setiap Imam (pemimpin negara) baik maupun fajir, dan beliau berkata setelah membawakan beberapa dalil tentang hal tersebut, “…dan karena meninggalkan jihad bersama (Imam) fajir akan mengantarkan kepada terputusnya jihad itu, nampaknya (berkuasanya, -pent.) orang-orang kafir di atas kaum muslimin dan pembinasaan terhadap mereka, dan nampaknya kalimat kekufuran, dan padanya terdapat kerusakan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
    “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” [Al-Baqarah: 251].”[15]
    Dan Ibnu Qudamah berkata, “Dan urusan jihad kembali kepada Imam dan ijtihadnya, dan rakyat wajib taat kepadanya pada pendapatnya dalam hal tersebut…”[16]
    Bahkan dalam jihad difa’i sekalipun, Ibnu Qudamah mengharuskan untuk menegakkan jihad dengan izin penguasa –bila hal tersebut memungkinkan-. Beliau berkata setelah menurunkan beberapa dalil tentang wajibnya meminta izin kepada penguasa dalam urusan jihad, “…dan sesungguhnya mereka, apabila musuh telah datang, maka jihad menjadi wajib ‘ain terhadap mereka, sehingga menjadi wajib terhadap seluruhnya dan tidaklah diperbolekan bagi seorang pun untuk alpa. Apabila hal ini telah tetap, maka mereka tidaklah boleh keluar (jihad) kecuali dengan izin Amir (pemimpin) karena urusan perang diserahkan kepadanya, dan ia lebih mengerti banyak sedikitnya musuh, makar dan tipu daya mereka. Maka seharusnya hal tersebut dikembalikan kepada pendapatnya, karena itu lebih berhati-hati untuk kaum muslimin, kecuali bila sulit untuk meminta izin karena musuh yang menyerang mereka secara tiba-tiba, maka tidak wajib meminta izin karena mashlahat mengharuskan untuk memerangi dan keluar terhadap mereka, (juga) karena akan pasti terjadi kerusakan bila meninggalkan (memerangi) mereka. Karena itulah, tatkala orang-orang kafir menyerang pengembala kambing Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan diam-diam, lalu mereka didapati oleh Salamah bin Al-Akwa’ yang sedang keluar dari Madinah, (Salamah) mengikuti mereka kemudian membunuh mereka tanpa izin. Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau seraya berkata, “Sebaik-baik pasukan kami adalah Salamah bin Al-Akwa’”, dan (Nabi) memberi beliau jatah seorang penunggang kuda sekaligus pejalan kaki.” [17]
    Demikian beberapa nukilan dari Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughny. Seluruhnya menunjukkan bahwa beliau sama dengan para Imam Ahlus Sunnah yang lainnya dalam masalah kepemimpinan dalam jihad.
    Dan andaikata penisbatan penulis terhadap ucapan Ibnu Qudamah itu benar, maka tentunya kesepakatan para ulama tentang wajibnya sebuah jihad dipimpin oleh seorang penguasa adalah sebuah keyakinan yang telah tetap dalam syari’at Islam ini. Wallahu A’lam.
    5. Target Jihad Imam Samudra
    Penulis berkata, “Jelaslah bahwa peperangan dilakukan sampai tercapai dua keadaan:
    Tidak ada lagi kemungkaran di muka bumi ini.
    Sehingga dienullah (Islam) mengatasi, mengungguli dien-dien lain. Dalam istilah lain: terlaksana hukum Islam secara sempurna.” [18]
    Tanggapan
    Dua hal yang disebut oleh penulis memang termasuk dan tujuan mulia dari jihad di jalan Allah.
    Tapi apakah tujuan tersebut telah tercapai dari kasus Bom Bali yang ditokohi oleh penulis dan teman-temannya?
    Setiap orang bijak dan adil dalam bersikap akan menegaskan bahwa penulis telah meruntuhkan tujuan jihad yang mulia tersebut, bahkan yang terjadi dari aksi-aksi penulis dan semisalnya adalah kemungkaran, kerusakan, penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dan kaum muslimin.
    Dan kami sudah terlalu banyak menguraikan berbagai kerusakan dan kemungkaran tersebut dalam Bab “Dampak-dampak Negatif Terorisme”. Cukuplah pembaca yang menilai.
    [1] Aku Melawan Teroris hal. 108.
    [2] Lihat Fathul Bari 6/5, Hasyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authar 7/246.
    [3] Dengan perantara Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.
    [4] Ibid.
    [5] Ar-Radd ‘Ala Al-Bakry 2/729, Maktabah Al-Ghuraba`/cet. Pertama/1417H.
    [6] Aku Melawan Teroris hal. 103.
    [7] Aku Melawan Teroris hal. 123-131.
    [8] Baca tahapan-tahapan tersebut dalam Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 3/70-71, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 28/349, Fatawa Al-Ulama Al-Akabir karya Syaikh Abdul Malik Ramadhoni hal. 20-23.
    [9] Aku Melawan Teroris hal. 131.
    [10] Aku Melawan Teroris hal. 130.
    [11] Baca I’lamul Muwaqqi’in 1/36.
    [12] Baca Al-Muwafaqot hal. 99-109.
    [13] Baca Ash-Shorim Al-Maslul 2/413-414.
    [14] Aku Melawan Teroris hal. 163.
    [15] AL-Mughni 13/14, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
    [16] AL-Mughni 13/16, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
    [17] AL-Mughni 13/33-34, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
    [18] Aku Melawan Teroris hal. 134.

    http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-perlawanan-yang-keliru-1-5.html#more-399

  34. yang dutulis “AKU MELAWAN TERORIS”.. yang dilakukan “AKU MEMBUNUH ORANG2 YANG SEDANG TIDUR DI HOTEL”.. yg ditulis dg yg dilakukan ga nyambung..

    http://kisah-selingkuh.blogspot.com/2013/01/adik-kandung-imam-samudra-selingkuhi.html

  35. sudahlah saudara2ku semua sesama muslim jangan bertengkar!! berjalanlah dengan keyakinan dan pendapat masing2 biar Allah SAW nanti yang menilai benar atau salah

  36. Murji’ah berbaju Salafi sering mencela para Muwahiddin dan para Mujahidin Tapi nggak pernah mencelah para penguasa Thogut yang membuang Hukum Syari’at Islam.Dan lebih senang dgn Hukum buatan Manusia. Tolong deh antum dalami Surat Al-Maidah ayat 44.

Tinggalkan komentar