SYARI’AT ISLAM INDONESIA; Antara Realita dan Utopia


Oleh : Moh. Rofiqul A’la Addimawie

Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform).

Sebagai salah satu statemen yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, adalah mencoba membaca kembali syari’ah Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia tentang hukum dan keadilan, yang memang selama ini sudah jelas eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional.

Bahkan kalau kita baca ulang hukum Indonesia, kita akan…………….mendapati bahwa secara instrumental banyak yang mengadopsi dari syari’at Islam, meskipun secara historis, sistem hukum nasional Indonesia bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, plus praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional.

Berangkat dari sini, syari’at Islam menjadi salah satu tawaran guna mensukseskan agenda Indonesia dalam menentukan sistem Hukum Nasional yang sedang mengalami proses transformasi menuju ke masa depan yang diharapkan akan menjadi satu kebijakan hukum yang mengandung satu kesatuan sistem yang ‘supreme’ dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pro-kontra tentang masalah kelayakan penerapan konsep yang telah ada dalam syari’at Islam untuk dijadikan landasan hukum negara Indonesia yang heterogen menjadi wacana yang sangat menarik. Dalam hal ini kita akan mencoba membidik lebih dekat, apakah penerapan syari’at Islam Indonesia adalah hal yang layak dan bisa direalisasikan atau hanya sebuah utopia belaka, dengan menempatkannya dalam parameter ilmiah yang obtektif.

Kerancuan persepsi tentang Syari’at Islam dalam era globalisasi

Umat Islam berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syari’at Islam. Ada yang mengatakan syari’at adalah aturan-aturan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Sebagian lain, melihat apa yang tercantum dalam kitab-kitab fikih sebagai syari’at. Pada hakikatnya, syari’at Islam adalah tiap perkara yang telah ditentukan oleh Allah Swt untuk hamba-Nya, yang berupa hukum-hukum ‘amaliah syari’ah ( seperti cara beribadah dan cara bertransaksi ), hukum-hukum pernikahan, hukum-hukum kriminal dan yang lainnya, karena keseluruhan misi dari hukum-hukum tersebut adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan hamba-Nya.

Akan tetapi, kerancuan persepsi syari’at Islam dalam negara Indonesia ketika diterapkan sebagai hukum negara, secara garis besar adalah terangkum dalam dua perkara, yang pertama diarahkan langsung pada konsep syari’at itu sendiri, sedangkan yang kedua ditujukan pada perkara yang diluar konsep.

Kerancuan persepsi yang ditujukan pada konsep syari’at Islam, berkisar pada tiga perkara, yaitu :

1- Kerancuan Persepsi dalam inti sari Syari’ah Islam

a)- Diskriminasi Terhadap Minoritas

b)- Dogmatisme Syari’at

c)- Islam Hanya ideologi dan Ibadah, sedangkan urusan yang lain diserahkan pada kebijakan manusia

2- Kerancuan Persepsi pada beberapa masalah tertentu dalam syari’ah Islam :

a)- Sikap Islam dalam hukum had ( dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan )

b)- Sikap Islam Tentang Riba (dianggap menghambat perekonomian )

c)- Sikap Islam Terhadap Wanita ( dianggap ada unsur diskriminasi )

3- Kerancuan persepsi seputar pluralitas hukum Islam

1- a). Syari’at Islam dan persepsi diskriminasi terhadap minoritas

Persepsi ini sebenarnya tak akan menjadi kendala, kalau kita pahami secara benar ajaran Islam. Kekhawatiran terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas ( yang memang jumlah muslim Indonesia paling banyak ) tak akan pernah terjadi, karena esensi dari syari’at Islam itu adalah sebagai penopang, dan keharusan penerapannya dikarenakan dua sudut pandang:

1- Sudut pandang ideologi : sasaran dari hal ini adalah seluruh muslim, dimana mereka semua harus beriman pada Allah Swt, iman kepada Rasul Saw, Al-Qur’an dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasul Saw.

2- Sudut pandang politik dan hukum : hal ini terjalin atas kerjasama pemerintah dan seluruh masyarakat yang dibangun dalam bingkai keadilan. Sasaran dari hal ini adalah setiap orang yang masuk dalam wilayah kekuasan negara tersebut dan telah mengakui kepemimpinan kepala negaranya. Dalam hal ini sasarannya adalah kepada semua masyarakat, tanpa membedakan ideologi dan agama yang dipeluk.

Dari dua sudut pandang diatas, Islam telah membuat kebijakan dalam konsep syari’at-nya, bahwa ketika syari’at Islam diterapkan, maka yang wajib tunduk dalam ideologi, politik serta hukum adalah umat Islam saja, sedangkan untuk non muslim, hanya terbebani oleh sebagian sudut pandang yang kedua saja – sebagai konsekuensi atas bai’at atau pengakuan mereka atas pemerintahan – yaitu dalam sebagian kebijakan politik dan hukum, yang kebetulan banyak yang sama dengan Islam, sebagaimana larangan membunuh, zina dan qadzaf, sedangkan dalam beberapa kebijakan yang dilegalkan dalam ideologi mereka, sebagaimana kelegalan minuman keras, menikah dengan orang yang masih ada hubungan mahram, dan yang lainnya, maka Islam tak ikut turut campur disini, bahkan sebagai konsekuensi atas konsep ini, muslim dilarang mencuri atau merampok minuman keras mereka, dan jika dilanggar maka muslim itu dihukumi berdosa, bahkan mayoritas yuris Islam sepakat agar pelanggar ini mengganti harga minuman keras tersebut, karena barang itu dalam pandangan mereka dianggap sebagai barang berharga yang punya nilai.

Islam juga punya kebijakan, jika mereka datang kepada mahkamah Islam untuk minta dihukumi, maka sebagai peradilan atau kehakiman muslim boleh menghukumi mereka dengan hukum Islam atau mengembalikan pada hukum mereka sendiri, jika telah kita tunjukkan hukum Islam pada mereka, maka untuk langkah selanjutnya diserahkan kembali pada mereka, untuk ditindak-lanjuti atau tidaknya. Kebijakan ini adalah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Hanafi dan Syafi’i. Al-Qur’an sendiri juga telah menyinggung konsep ini dalam surat al-Maidah : 42 :

Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tak akan memberi madlarat sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ketika mereka datang dan meminta keputusan kepada kehakiman Islam, maka haikm wajib menghukumi dan mereka diharuskan patuh dengan keputusan yang ada dalam syari’at Islam.1

1-b). Syari’at Islam dan persepsi dogmatisme

Anggapan bahwa syari’at Islam tak relevan dengan dinamika kehidupan, sebenarnya hal ini adalah tuduhan lama yang dilontarkan oleh orientalis yang berusa menyentuh kesakralan bahasa langit ( baca : wahyu Allah Swt ) yang sekarang diadopsi oleh sebagian pemikir Islam. Kekahwatiran ini sangat lemah, dari berbagai sudut pandang. Prof. Dr. Said Ramadan Buti membantah secara akurat tuduhan ini, beliau memaparkan dalam uraian panjangnya yang kami sederhanakan dalam uraian dibawah ini : 2

“Dinamika adalah perubahan dari suatu bentuk kebentuk yang lain.“ Artinya segala sesuatu itu tidak tetap dalam suatu bentuk tertentu, karena adanya pergerakan yang continue. Sampel perubahan ini bisa kita temukan dalam tubuh manusia yang tersusun dari berbagai organ. Tubuh manusia sekarang adalah bukan tubuh manusia yang kemarin. Pakar filosof klasik dan ilmuwan kontemporer telah merumuskan dan menyepakati bahwa Dinamika( perubahan) hanya terjadi sebatas material alam, bukan dalam sistemnya.”

Bertolak dari rumusan diatas, bila kita analisa alam, akan kita dapati bahwa air, debu, bebatuan dan material alam yang lain mengalami perubahan, namun sebaliknya bila kita tengok sistem yang mengatur rotasi alam, yang teraplikasi dalam pergantian gerak cakrawala, rotasi bumi, pembagian waktu menjadi tahun, bulan, hari, siang, malam serta sistem alam yang lain, tentu akan kita dapati bahwa sistem itu tak berubah. Heroklid filosuf Yunani yang hidup pada abad 6 SM, telah menegaskan : “ Bahwa kita tidak akan mandi dua kali dalam satu sungai dengan air yang sama, karena air itu mengalir.“

Apa yang ditegaskan Heroklid dan dirumuskan oleh filosuf serta ilmuan yang lain adalah senada dengan penegasan Al-Qur’an ( surat Al-Ahzab : 62 )

“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.“

Problematika timbul bertolak dari dinamika alam itu sendiri, dimana Tuhan sebagai pencipta alam tentunya menurunkan bahasa langit-Nya terhadap manusia agar manusia bisa melakukan interaksi dengan alam selaras dengan perintah dan larangan yang telah digariskan. Sedangkan pada satu sisi alam mengalami dinamika, selalu berubah dan tetap, sedangkan pada sisi lain, bahasa langit bersifat statis tidak dinamis. Jadi akan timbul kepincangan disini jika bahasa langit tetap dipaksakan eksis dalam mengatur dinamika dunia.

Lalu benarkah Syari’at Islam itu terkait dengan dinamika material dunia? Atau ia terkait dengan sistemnya?

Dalam kehidupan kita mengenal 2 sistem, yaitu sistem alam ( Nidham al-kaun ) dan sistem syari’at ( Nidham al-syari’at ). Orientasi dari sistem alam adalah sebagaimana penjelasan yang telah kami paparkan diatas, sedangkan untuk sistem yang kedua ( baca : syari’at ) adalah berupa beberapa aturan yang diorientasikan untuk mengatur serta melengkapi sistem alam. Kalau kita analisa kandungan dari bahasa langit tersebut, dengan berbagai pluralitas hukumnya, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah satu, yaitu mensejahterakan manusia dan memberikan lini dalam berinteraksi dengan sistem alam yang telah ditentukan agar tak keluar jalur.

Konklusinya, hukum syari’at teraplikasikan dalam dua perkara, pertama hukum yang bersifat statis, karena terkait dengan kelangsungan dunia dan sunatullah, dan kedua hukum yang bersifat dinamis, karena terkait dengan proses interaksi yang terjadi didunia dan kehidupan. Jika kita analisa sumber asal syari’at yang muttafaq, maka semua hukumnya adalah tetap.

Dan ketika kita menganalisa sumber syari’at yang taba’iah ( non asli ), sebagaimana hukum yang dilahirkan dari Qiyas (analoq berdasar kesamaan alasan), kaidah istishlah, tendensi istihsan, saddu al-dzarai’ serta hukum yang dipengaruhi ‘Urf, kesemuanya bersifat dinamis. Bahkan ijma’ yang masuk dalam kategori sumber asli dan hukum yang dihasilkan sampai pada derajat yakin terkadang juga mengalami perubahan ketika standart yang digunakan adalah nilai-nilai positif yang terbatas oleh waktu ( maslahah zamaniah ). 3

1-c). Syari’at Islam dan persepsi keterbatasan ajarannya

Sebuah pemahaman yang dangkal dan keliru, ketika syari’at Islam hanya dianggap seputar urusan shalat, masjid dan ibadah saja. Sedangkan urusan yang lain sebagaimana kebijakan dalam bertransaksi dan penanganan kriminal harus dikembalikan kepada kebijakan yang dirumuskan manusia sendiri. Persepsi ini berusaha menganaloqikan Islam dengan kristen yang mana ulah para pendeta gereja dalam masa pertengahan mengkebiri keilmuan dan berbagai sarana memajukan peradaban manusia saat itu, hingga tidak heran kemudian lahir gerakan sekulerisme. Sedangkan Islam sangat mendukung akan hal ini, dukungan dan kebrillianan Islam atas kemajuan keilmuan telah teruji, bukti otentik bisa kita temukan pada sejarah tiga abad pertama Islam, yang mampu membawa pemeluknya maju dengan sangat pesat. Artinya Islam mengajak dan membawa maju umatnya tanpa harus merubah syari’atnya, dan sebuah kesalahan yang besarf jika mengatakan agama hanya sebatas urusan shalat dan masjid saja.

2-a). Syariat Islam dan hukum HadKetika masalah kebijakan syari’at Islam dalam had digugat, maka untuk mencari titik temu dalam masalah ini, adalah bukan dalam kajian fiqh dan syari’at Islam, akan tetapi pada nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai positif kemanusiaan (humanisme), yang kedua hal ini dianggap sebagi landasan syari’at Islam dan hukmnya. Dan kita sebagai muslim telah mengetahui bersama, bahwa syari’at Islam memandang jinayah (tindak kriminal) sebagai kejahatn besar yang melanggar al-mashalih al-hamsah yang menjadi poros syari’at Tuhan terhadap hambanya. Bahkan penerapan hukum had ini pada dasarnya adalah lebih merupakan methodologi edukasi tindakan prefentif dari pada realisasi atau penanganan pasca kejadian, dia tak lain adalah landasan edukasi penyelamatan bagi masyarakat. Hal ini akan terbukti kebenarannya dengan beberapa uraian dibawah ini :

1- Dalam penanganan kasus had Islam tidak menganggap cukup hanya dengan adanya qarinah (tanda-tanda) saja, tapi ahrus berdasar pada bukti yang akurat. Hal ini adalah upaya mempersempit pelaksanaan hukum had dalam perkara yang masih praduga. Berbeda dengan kasus yang terkait dengan persengketaan keuangan dan yang lainnya, dalam masalah ini agama memasukkan qarinah sebagai bahan acuan menuju pengakuan atau pembuktian, sebagaimana pendapat mayoritas yuris Islam, seperti Hanafi dan Syafi’i.4 Tuduhan bahwa hukum had dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial adalah pandangan yang tak obyektif, tetapi subyektif. Karena hanya melihat dari sudut pandang orang yang dijatuhi hukuman had, tanpa mempertimbangkan akibat atau orang yang dicelakai.

2- Dalam kasus perzinaan, justru akan kita temukan syarat yang ketat sekali. Yaitu adanya pengakuan yang jelas dari pelaku, atau dengan adanya empat saksi mata yang melihat secara langsung kejadian tersebut. Dan mayoritas yuris Islam mensyaratkan, tidak boleh adanya perbedaan dalam pengakuan keempat saksi tersebut. Ketika syarat tersebut terpenuhi, maka hukum had dilaksanakan, alasannya adalah bukan karena kelakuan pelaku tersebut saja, akan tetapi adalah karena sifat buruk yang telah menodai masyarakat.

Sehingga hal ini harus segera dicegah dengan hukuman agar tak merembet membakar moral masyarakat yang lain.3- Dalam kasus kriminal yang tak ada had nya, maka kebijakan diserahkan pada hakim muslim dengan batasan tidak boleh melebihi had tertentu. Dan dalam hal ini harus diselaraskan dengan ruang dan waktu serta nilai-nilai positif semua masyarakat.2-b). Syari’at Islam dan kebijakan perekonomian

Lebih lanjut, tentang tuntutan mereka yang menganggap bahwa banyak hukum Islam sudah tidak relevan dan harus diganti, sebagaimana tuntutan mereka tentang pelegalan riba dalam hukum ekonomi dengan pertimbangan maslahah, dengan kesimpulan akhir bahwa sangat tidak pas kalau syari’at Islam diterapkan untuk Indonesia yang sedang membangun ekonomi, karena Islam mengharamkan riba.

Propaganda pelegalan riba dalam hukum ekonomi adalah salah fatal,5 karena sudah sangat jelas ditegaskan dalam hukum perekonomian bahwa uang tidak bisa dilahirkan dari uang, tapi uang adalah sesuatu yang terlahir dari manfa’at yang dihasilkan. Terlebih lagi pengambilan alasan (‘Illat) pengharaman riba adalah karena bertentangan dengan nilai sosial (‘Irfaq), sehingga mereka berkesimpulan bahwa yang diharamkan adalah praktek hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif. Dengan mengusung asumsi bahwa praktek riba pada zaman jahiliah adalah hanya pada hutang konsumtif saja.

Analisa diatas jelas salah, karena jika alasan riba bertolak dari unsur belas kasih, maka, yang terjadi malah sebaliknya. Justru ketika kita menahan diri dari memberikan hutang kepada orang yang membutuhkan, itu adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai sosial. Jadi sebenarnya pengharaman riba adalah berangkat dari aplikasi kaidah perekonomian itu sendiri. Sedangkan nilai-nilai sosial adalah pesan akhlak yang sangat dianjurkan agama, namun bukan alasan pengharaman riba. Para Yuris dimasa sahabat dan seterusnya juga tak pernah satupun dari mereka yang mengatakan bahwa karena alasan nilai sosial maka riba hanya diharamkan dalam hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif, padahal kapabelitas mereka tidak kita ragukan lagi, sebagaimana yang bisa kita baca dari catatan historis Islam yang banyak disekitar kita.

Anggapan yang sangat keliru, jika hutang riba di zaman Jahiliah hanya terfokus pada hutang konsumtif saja, tidak pada hutang produktif. Ini adalah kebodohan yang sangat, karena dalam realitanya hutang pada zaman Jahiliah adalah sampai pada puluhan ribu bahkan sampai ratusan ribu dirham, lalu apakah logis kalau hutang sampai sebanyak itu hanya untuk memenuhi kebutuhan makan minum saja, yang saat itu keperluan hidup tak melebihi sepuluh dirham.

Yang jelas berbeda dengan cara hidup orang sekarang yang menuntut serba mewah dalam segala hal. Riba juga bertentangan dengan konsep maslahah yang telah digariskan oleh agama, yaitu maslahah yang telah di nash dalam Al-Qur’an, maslahah yang dianaloqikan dengan maslahah yang telah di nash dalam Al-Qur’an dan maslahah Mursalah yaitu clear statemen dari adanya dukungan atau larangan dalam agama, namun masuk dalam maqasid al-khamsah.

2-c). Syari’at Islam dan persepsi diskriminasi terhadap kaum wanita

Diskriminasi ini adalah seputar kewajiban wanita menggunakan pakaian yang bisa menutupi aurat mereka, yang pada era industri sekarang ini mengharuskan setiap tangan manusia agar bekerja dan mencurahkan semua tenaganya. Dalam kondisi ini keberadaan setiap manusia perempuan menjadi sebuah keharusan baginya untuk ikut berperan serta secara bersama-sama dengan laki-laki, karena mereka (kaum wanita) adalah bagian dari masyarakat, sehingga jika mereka tetap berpakaian seperti yang dituntut oleh syari’at Islam maka mereka tidak akan mampu berpartisipasi bersama kaum laki-laki. Persepsi yang kedua adalah tuduhan bahwa busana muslimah itu dianggap menghambat kebangkitan logika, kultur dan social. Jadi harus segera diganti dengan pakaian yang bebas tidak terikat.

Kedua persepsi ini keduanya mengusung alasan yang salah, karena dalam kasus pertama, banyak kita temukan ribuan bahkan jutaan pemuda pengangguran yang berlalu-lalang. Jika benar pada era industri ini mengharuskan kerja total semua lapisan masyarakat baik laki-laki maupun wanita, maka pemandangan (jutaan pengangguran) itu tidak akan terlihat. Kasus ini akan berbeda ketika kita melirik gaya hidup matrialisme yang dianut bangsa eropa, dimana seorang kepala keluarga tidak ada beban nafkah terhadap keluarganya, baik kepada anak perempuan maupun isteri. Gaya hidup seperti ini tidak bisa kita jadikan standart untuk diterapkan dalam dunia Islam, yang telah memiliki kebijakan dalam urusan nafkah tersendiri.

Tidak ada satu pun pakar perancang dan pembuat pakaian yang mengatakan bahwa pakaian itu mempengaruhi kecerdasan, jadi sangat mengada-ada persepsi kedua diatas. Terlebih lagi bila kita lihat realita, banyak sekali kita temukan dalam para mahasiswi yang berbusana muslim lebih pandai dari pada teman-temannya yang menggunakan pakaian bebas (tak menutup aurat). Bahkan kalau kita tengok kebelakang, banyak kita temukan dalam sejarah Islam para wanita yang sangat mahir dalam keilmuan, luas dalam wawasan serta brillian dalam pemikiran, namun sejauh itu mereka tetap menggunakan pakain yang telah disyari’atkan Allah Swt .

3- Diskursus pluralitas hukum dalam konsep agama

– Di era Rasul Saw, fiqh belum dibukukan oleh para yuris Islam. Tidak seperti pada era setelahnya yang dengan sekuat tenaga telah mencoba mengkaji bahasa langit ( baca : wahyu Tuhan), hingga kita mengenal adanya beberapa kriteria dan etika dalam hukum. Akan tetapi meski Nabi Saw menjadi rujukan problematika para sahabat saat itu, bukan berarti saat itu tidak terjadi pluralitas. Dalam satu Hadist (masuk dalam kategori Iqrar Nabi) dalam kasus perang Bani Quraidzah tentang shalat Ashar Nabi berkata : “ kalian semua jangan melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidzah.“6 Perkataan Nabi menimbulkan interpretasi yang berbeda diantara para sahabat, sebagian menafsirkan kalimat itu sebagai hakikat larangan sehingga harus diakhirkan shalat sampai setelah masuk waktu maghrib, sedangkan yang lain menafsiri bahwa kalimat itu adalah berisi motifasi dari Nabi agar para sahabat mempercepat langkah dan bisa melakukan shalat ashar pada waktunya. Dalam kasus ini pluralitas yang terjadi diantara sahabt sangat dihormati oleh Nabi dan sangat keliru persepsi yang mengatakan bahwa Nabi pada saat itu bersikap plimpan.

Namun pasca kepulangan Rasul Saw kehadirat Allah Saw, para sahabat beliau berpencar ke berbagai penjuru arab, disana mereka menjadi rujukan dari berbagai problematika masyarakat setempat. Para sahabat ini dalam menyikapi masalah mereka tetap merujuk pada kesakralan Al-Qur’an dan Hadist (sebatas yang mereka ketahui), namun jika tidak menemukan mereka melakukan ijtihad dengan menggunakan pola nalar serta pendekatan illat yang telah terkonsep dalam teks.

Berangkat dari Perbedaan pendapat yang terjadi karena wawasan intelektualitas serta frekuensi kesempatan bersama Nabi Saw yang tidak sama, sehingga banyak diantara mereka yang ketika dihadapkan pada masalah -yang sebenarnya masalah itu telah diputuskan oleh Nabi Saw- namun mereka tidak tahu. Sehingga mereka harus berijtihad, yang kadang hasilnya sama persis dengan putusan Nabi.

Tetapi terkadang juga berbeda. Dan ketika berbeda ini, mereka segera menarik kembali putusannya. contoh dari kasus pluralitas ini adalah peristiwa yang terjadi pada Abu Hurairah r.a, yang meriwayatkan bahwa : “ orang yang ketika masuk waktu subuh dalam keadaan junub (menanggung hadast besar) maka dia dihukumi tidak puasa.“ Namun putusan ini segera ditarik kembali setelah datang padanya beberapa keterangan dari isteri-isteri Nabi yang berlawanan dengan Hadist yang diriwayatkannya. 7

Begitu pula kita temukan adanya pluaralitas dalam madzab empat, dan sejauh ini mereka saling menghormati satu dengan yang lainnya. Bahkan tak ada satupun dari keempatnya yang mengklaim bahwa pendapatnya paling tepat sedangkan yang lain salah. Imam Syafi’i mengatakan, apa yang saya tuangkan dalam tulisan ini tidak semuanya harus kalian ikuti. Yang benar ambil, yang salah tinggalkan. Pada kesempatan lain Imam Hanafi berkata, jika yang saya sampaikan itu benar, berarti itu datangnya dari Allah, dan jika salah itu datangnya dari setan. Imam Ahmad juga mengatakan, ambillah yang benar dari pendapatku, yang kalian ragukan tinggalkan. Imam Malik pun demikian. Artinya, para Imam ini tidak pernah memutlakkan pandangan mereka.

Mereka membuka ruang untuk kritik. Keempat Imam mazhab berbeda pandangan dalam melihat berbagai masalah agama, padahal rujukannya sama yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Perbedaan pendapat terjadi karena latar belakang kepentingan, wawasan, intelektualitas dan yang paling penting juga adalah perbedaan latar belakang sosio historis dan sosio politis mereka. Intinya pluralitas yang mewarnai syari’at Islam bukanlah alasan untuk penolakan penerapan syari’at Islam.

Tentang kekhawatiran-kekhawatiran yang lain, sebagaimana timbulnya wajah-wajah munafik yang baru, sangatlah jauh dari kajian ilmiah, karena keberadaan syari’at Islam bukanlah untuk menjadikan manusia menjadi Malaikat. Jadi jangan diartikan bahwa ketika syari’at Islam diterapkan tidak akan ada lagi manusia berbuat dosa. Kemunafikan sendiri banyak kita temukan di zaman Rasul dan zaman setelahnya.

Methodologi penerapan dan standart konsep hukum Islam

Setelah kita sampai pada kesimpulan bahwa konseptualisasi Syari’at Islam Indonesia bukan sekedar utopia, maka agenda selanjutnya adalah merumuskan methodologi penerapannya, agar tak terjadi kesalahan sebagaimana yang selama ini banyak dipraktekakan oleh beberapa daerah yang berdasarkan pada otonomi daerah, mereka menerapkan syari’ah Islam sebagai rujukan. Dan setelah melihat realita masyarakat kita dengan perbedaan wawasan dan intelektualnya, maka perlu dirumuskan beberapa langkah untuk memasyarakatkan syrai’at Islam itu, agar kesadaran akan urgensinya bisa mereka pahami.

Methodologi penerapan ini bisa melalui tiga langkah, yaitu :

– Gerakan para Agamawan

– Menanamkan pemahaman Syari’at Islam terhadap masyarakat muslim

– Kerjasama Antara Rakyat dan Penguasa

Setelah kesadaran masyarakat mampu dibentuk, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan standart konsep hukum Islam, yang dalam hal ini bisa dengan mengkaji berbagai hukum yang telah dirumuskan oleh para ulama’, sebagaimana dengan memuqaranahkan (membuat perbandingan) keempat madzhab, lalu diambil pendapat mayoritas (Fiqh Jumhur) atau diambil pendapat yang paling relevan dengan sosio kultur masyarakat Indonesia serta paling bisa menjawab tuntutan zaman.¦

1 lihat : Abi Ishaq al-Syaerozi : al-Muhaddzab, 2/ 256, Mughni al-Muhtaj : 4/ 257, Jassos : Ahkam al-Qur’an, 2/ 528, Qurtuby : Al-Jami’ liahkam al-Qur’an, 6/184 dan 185 2 Lihat Prof.Dr. Said Ramadan Buti : Yuqhalitunaka Idz Yaqulun, 79 – 97 dar al-Farabi – Dimas cet 3 ( 1421 H- 2000 M ), juga dalam bukunya : ‘Ala Thariq al-‘Audah Ila al-Islam, 101-104. dar al-Farabi-Dimas cet 8 ( 1422H-2001 M ) 3 Al-Bazdawi : Kasyf al-Asrar ‘ala usul al-Bazdawi, 3/ 176 dan 262 4 Lihat Al-Ramli : Nihayatul Muhtaj, 8/247, Abi Ishaq al-Syairazi : Muhaddzab, 2/303, Ibn Qudamah : Al-Mughni,10 5 Prof. Dr. Said ramadan Buti : Qadaya Fiqhiah Mu’ashirah, 67-72, Dar al-Farabi-Dimas, cet 6 ( 1422 H-2001 M ) 6 Diriwayatkan Bukhari-Muslim dari Ibn Umar 7 Waliyullah Addahlawi : Al-Inshaf fi-asbabil ikhtilaf , Ta’liq : ‘Abd al-Fattah Abu Qhudah, Dar al-Nafais, cet : 1 ( 1397 H – 1977 M )

—————————————————————————————————- * Penulis adalah santri Pon.Pes. MUS ( Ma’had al-‘Ulum al-Syar’iah ) Karangmangu- Sarang- Rembang- Jawa Tengah. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Islamic Call Collage of Kuftaro Center Damascus-Syria.

sumber: http://nusyria.net/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=28

4 Tanggapan

  1. Ulasannya sangat berbobot dan sistematis. Terimakasih telah menghadirkan tulisan dengan kupasan yang sangat dalam di blog ini. Semoga bermanfaat bagi banyak orang. Amiiin.

  2. Karena Anda sudah mengupas tuntas masalah Syariat Islam, alangkah baiknya pokok-pokok pikiran Anda ini dijadikan masukan bagi para khalifah kita, ya gubernur, bupati, walikota dan kepala dinas di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah dianugerahi kepercayaan untuk menerapkan Syariat Islam di daerahnya masing-masing. Semoga, dengan berhasilnya NAD menerapkan Syariat Islam maka diharapkan daerah-daerah lainnya akan meneladani daerah ini, Insya Allah. Masukan Anda ini, kiranya dapat dijabarkan ke dalam proposal peraturan daerah dll. Semoga Allah SWT memberkahi kita, Amin

    ======

    COKIE :

    Insya Allah itu sudah dan sering dilakukan, dan semoga penerapan syariah bisa diterapkan bukan hanya di Indonesia tetapi diseluruh dunia ini
    Karna Islam adalah rahmat bagi seluruh alam
    Terima kasi atas masukannya

  3. menurut saya, seharusnya kita selaku ummat muslim harus menegakan syari’at islam yang sebenar-benarnya

  4. assalamu’alaikum wr wb

    mohon izin mengomentari

    Musuh-musuh islam ( barat dan sekutu-sekutunya ) saja mau mengamalkan syariat islam yang dikemas dengan wajah lain untuk mendorong pembangunan disegala bidang sehingga mereka menjadi bangsa yang paling maju dan kuat di dunia, yang kemudian kekuatan yang diperoleh dari syariat islam justru digunakan senjata untuk menyerang umat islam.

    saya ambil contoh: misalnya filosofi dan kerangka kerja syariat islam yang dioperasionalkan di dalam masjid yang didirikan atas dasar taqwa yang dikemas oleh mereka menjadi good corporate governance dan seluruh system management yang ada didunia ini yang saya ketahui kontennya adalah syariat islam,

    coba pikir organisasi mana yang tidak memerlukan system management, bangsa mana yang tidak memerlukan system management ?

    hanya orang-orang yang cerdas dan berfikir strategis saja yang mau mengamalkan syariat islam.

    menurut pengamatan saya, yang harus direkonstruksi dulu adalah pemahaman terhadap filosofi dan kerangka kerja syariat islam, karena salah memahami dan salah mempersepsikan syariat islam hanya akan menimbulkan hal yang sangat fatal dan kontra produktive yang hanya akan membuat syariat islam sebuah momok yang sangat menakutkan, sehingga akan semakin menyulitkan umat islam itu sendiri untuk bisa segera bangkit, dan syariat islam hanya menjadi sebuah mimpi yang sulit untuk diwujudkan’

    sehingga hal ini kalau boleh saya analogikan seperti orang tidak mengenakan baju tapi menawarkan baju, jadi menurut saya pakai dulu baju yang keren, nggak usah ditawarkanpun orang juga akan nanya, beli dimana sih kok bagus banget ?

    sehingga syariat islam yang sangat luar biasa sebagai sebuah system manajemen menyeluruh yang penuh rahmat ( dalam arti sebuah cara untuk menciptakan nilai tambah dengan cara berbisnis ) yang sehat, halal dan diridhoi Allah, yang telah ditetapkan Allah untuk mengatur ( memanage ) segala ( bidang ) urusan ( bisnis ), apapun bisnisnya, apapun korporasinya dan apapun bangsanya, baik yang bersifat komersial ( profitable ) maupun non komersial ( non profit ), yang tujuannya untuk memberikan kesejahteraan yang optimal bagi seluruh umat manusia ciptaan-nya, menjadi tidak laku untuk ditawarkan alias tidak laku dijual, sehingga akan menyulitkan umat islam sendiri untuk bisa segera bangkit.

    hanya dengan syariat islam umat islam bisa bangkit dan akan survive di era globalisasi ini.

    Kesimpulan :

    kalau inputnya ( pemahaman ) salah > transformasinya ( action ) akan salah ( actionnya salah ) outputnya ( hasilnya ) juga akan salah !!! ( think about it )

    mohon ma’af kalau komentar saya tidak berkenan

    wassalamu’alaikum wr wb

Tinggalkan komentar