AYAH, AKU INGIN MATI… ( Sudahkah kita siap menyongsong kematian..? )


Empat hari lalu, istri saya mengingatkan kalau putri sulung kami tepat berusia 14 tahun. Alhamdulillah. Saya menyalaminya, mengusap rambut kepalanya, dan mendoakan kebaikan untuknya.

 

Mendadak saya teringat dialog kami berdua ketika dia masih kelas 4 SD. Inilah obrolan ayah-anak yang mungkin tak akan pernah saya lupakan. Meski sudah lewat 4 tahun, rasanya kejadiannya baru kemarin. Bahkan, ketika hampir setiap hari saya berhenti di perempatan lampu merah Kertajaya – Dharmawangsa, memori saya seperti otomatis memutar dialog yang menggetarkan emosi.

“Temanmu ada yang sudah haid, Mbak?”

Anak saya kaget sekali dengan lontaran pertanyaan ini. Saya memang sudah mendengar dari istri kalau teman sekelas anak saya sudah banyak yang mens. Anak masih kelas 4 SD? Sudah menstruasi? Oh, nooo…

Anak saya membenarkannya. Dia pun menyebut nama-nama teman sekelasnya yang sudah haid. “Yah, ayah…. perempuan yang belum haid itu nggak punya dosa ya?”, tanyanya.

“Oh iya. Perempuan yang belum haid itu dianggap belum baligh atau dewasa. Karena itu dia belum punya dosa atas apa saja yang dilakukannya”. Saya menjawab dengan penuh kebapakan.

“Ayah, kalau gitu aku sampai tua nanti nggak mau haid. Biar aku nggak punya dosa”. Anak saya menjawab spontan dengan riangnya. “Ye ye ye yeee yee…”

Waks… saya tak menduga dengan perkataan ini. Tapi saya tetap harus menjawabnya.

“Mbak, yang namanya perempuan itu meski belum haid, tapi kalau usianya sudah sekitar 13 tahun, maka secara fiqih dia sudah dianggap baligh atau dewasa. Karena itu, kalau perempuan berusia 13 tahun melakukan maksiat, maka dia sudah berdosa”.

Saya yakin ini adalah jawaban terbaik yang bisa memuaskan anak saya. Dia pun terdiam. Tapi, tak lama kemudian dia berkata, “Kalau begitu ayah, AKU INGIN MATI SEBELUM UMUR 13 TAHUN. Boleh ya Yah, ya Yahhh, ya Yahhhh!”.

“Ye ye ye yeee yee… Ye ye ye yeee yee..”, anak saya berjingkrak kegirangan. Sementara saya di sebelahnya merasa “maakk jlleeebbbb”. Ayah mana yang kuat mendengarkan permintaan anaknya seperti itu?

Saya menjelaskan lagi. “Mbak, jangan takut menjadi baligh. Kalau sudah dewasa nanti, selama kita menjalankan banyak amal baik, insya Alloh kita akan punya pahala yang banyak. Dan kita akan masuk surga”.

Dialog itu pun berhenti. Lampu sudah berganti hijau, saya pun menginjak gas. Kami pun pulang ke rumah…

Hari demi hari berlalu, minggu berganti minggu, bulan dan tahun terus berganti, dialog anak-ayah itu begitu membekas dalam memori saya. Dan hari ini, ketika anak saya usianya 14 tahun, sudah di atas usia yang diharapkannya mati sebelum 13 tahun, saya memutuskan membuat catatan di internet. Siapa tahu bisa bermanfaat bagi orang lain.

TAKUT MATI, KARENA TAKUT NERAKA

Entah sudah berapa kali saya menjadikan dialog tadi sebagai bumbu ceramah. Misalnya ketika mengisi pengajian rutin lansia di balai RW sebelah rumah. Ya, namanya saja lansia, pesertanya memang sudah benar-benar orang lanjut usia, dan rata-rata sudah kakek-nenek.

Dalam satu kesempatan saya membuka ceramah dengan pertanyaan, “Bapak-ibu, nanti kalau di akhirat, apakah mau masuk surga?”

“Maaaaauuuuuuuuuu”. Kompak. Semua menjawab dengan semangat.

Saya sengaja diam dulu untuk mencari perhatian seluruh audien. Dan setelah semua kembali fokus, saya bertanya lagi, “Pertanyaan kedua, bapak dan ibu, SIAPA DI ANTARA KITA DI SINI, YANG SIAP MATI BESOK PAGI”.

Diam. Kali ini semua kompak diam. Saya ulangi pertanyaan yang sama hingga dua kali, dan tetap nggak ada yang menjawab.

“Bapak ibu, surga itu adanya setelah kita mati. Kita nggak mungkin masuk surga, sebelum mati dulu. Tidak bisa dari hidup di dunia langsung masuk surga tanpa didahului kematian. Jadi, saya ulangi lagi, siapa bapak dan ibu yang sudah siap mati besok pagi”.

Seorang ibu yang sudah sepuh di barisan depan mendadak berteriak, “TIDAK SIAAAAAPPPP”.

Audien yang semula diam mendadak ger-geran, sambil mesam-mesem memandang saya. Setelah itu saya menceritakan dialog ayah-anak di atas, sebagai perbandingan.

 

Mengapa ada anak kecil sudah siap mati? Karena dia tahu pasti, sebagai anak yang belum baligh maka dia masih bersih tidak punya dosa sama sekali. Karena itu, mati baginya adalah jaminan masuk surga. Sedangkan kebanyakan manusia, mungkin termasuk kita, sikapnya persis seperti para lansia jamaah pengajian saya tersebut. Meski usia sudah lanjut pun masih merasa belum siap mati. Takut mati. Mengapa? Karena menyadari banyaknya dosa yang pernah kita lakukan, dan mati adalah lebih dekat dengan saat dimasukkan neraka. Naudzu billah min dzalik…

SIAP MATI, KARENA YAKIN JAMINAN MASUK SURGA

Bicara tentang kesiapan menghadapi kematian, mari kita perhatikan kisah sahabat Umair bin al-Humam al-Anshory saat perang Badar di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Nabi SAW berangkat bersama para sahabatnya hingga mendahului kaum musyrik sampai sungai Badar. Setelah itu kaum musyrik pun datang. Kemudian Rasulullah bersabda, “Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi”.

Umair bertanya, “Wahai Rasulullah, benarkah yang engkau maksud itu surga yang luasnya seluas langit dan bumi?” Rasululullah menjawab, “Benar”. Umair berkata, “ehm, ehm”. Rasulullah bertanya kepada Umair, “Wahai Umair, apa yang mendorongmu untuk berkata ehm-ehm?” Umair berkata, “Tidak apa-apa Ya Rasulullah, kecuali aku ingin menjadi penghuninya” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya engkau termasuk penghuninya, wahai Umair”.

Anas bin Malik yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, kemudian Umair mengeluarkan beberapa kurma dari wadahnya dan ia pun memakannya. Kemudian Umair berkata, “Jika aku hidup hingga aku makan kurma-kurma ini sesungguhnya itu adalah kehidupan yang lama sekali”. Maka Umair kemudian melemparkan kurma yang dibawanya, kemudian maju untuk memerangi kaum musyrik hingga terbunuh.

Allahu akbar. Begitulah sahabat yang mulia ini. Kalau sudah yakin bakal masuk surga, bahkan menunggu sampai kurma habis dimakan pun sudah kelewat lama ya… Maunya langsung mati agar segera bisa masuk surga yang dijanjikan.

Bagaimana dengan kita semua?

Sudahkah kita siap menyongsong kematian?

Siap atau nggak siap, kematian pasti akan datang.

Karena itu, sebaiknya kita membekali diri dengan memperbanyak amal kebaikan mumpung masih hidup, agar kapan saja ajal datang, kita benar-benar telah siap dengan timbangan amal yang berat, dan Insya Alloh akan dimasukkan surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.

 

Surabaya, 29 Oktober 2013

Akhukum fillah,

M. Ihsan Abdul Djalil

 

Tinggalkan komentar