63 Tahun Piagam Jakarta dan Pengkhianatan terhadap Islam


Para pendiri Republik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama

Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya disadari oleh setiap muslim bahwa Republik yang lahir itu adalah sebuah negara yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari ‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Subhanallah, Allahu Akbar!

Namun keesokan harinya tanggal 18 Agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, itu dihapus, diganti dengan kalimat: yang maha esa.

Inilah awal malapetaka. Inilah awal pengkhianatan terhadap Islam dan ummat Islam.

Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait di dalamnya antara lain tokoh-tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Qahhar Muzakkir, Kasman Singodimejo, Teuku Moh. Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya sehari, republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Republik yang berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya sehari! Hal ini tertanam di lubuk hati yang paling dalam bagi setiap aktivis dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus. Dalam pandangan Ki Bagus hanya Islam-lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh. Hasan pun menulis tentang makna Yang Maha Esa ini sebagai Tauhid.

Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.

Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda: Menangisi susu yang sudah tumpah !?

Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”

Sesudah Proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan, pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI melalui mosi integral Mohd. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang dinilai paling bersih dan paling demokratis.

Sementara itu di luar Jawa di Aceh yang dijuluki “daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.

Ketika Bung Karno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Mohammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati rakyat Aceh.

Dalam sidang Konstituante (1957-1959). Baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam dijadikan dasar ideologi negara, didukung oleh kekuatan nasionalis, sekuler, sosialis, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya merupakan ajang pertarungan ideologi.

Dalam Sidang IV MPRS 1966. Golongan Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, maka merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum. Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi (menurut mereka) Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.

Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Sebelum sidang dimulai ke dalam Badan Pekerja MPRS dimasukkan suatu usul tertulis yang antara lain mengajukan agar kewajiban melakukan ibadat diwajibkan bagi setiap pemeluk agama dan agama resmi adalah agama Islam. Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Usul ini dengan gigih ditolak terutama oleh kalangan Kristen (Surat kabar Suluh Marhaen, 3 Maret 1967).

Dalam Sidang V MPRS 1968. Golongan Kristen dibantu oleh golongan nasionalis atau non Muslim lainnya menolak rumusan Pembukaan dari Rancangan GBHN yang berisi: “Isi tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dituangkan dalam UUD 1945 yang terdiri dari batang tubuh dilandasi oleh Pancasila serta dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Mereka menolak rumusan tersebut dengan beralasan bahwa kata “dijiwai” menimbulkan arti seolah-olah Piagam Jakarta adalah jiwa sedangkan UUD 1945 itu tubuhnya. “Secara objektif perkataan ‘menjiwai’ dalam Dekrit itu harus diartikan sebagian besar dari Piagam Jakarta – kecuali tujuh kata – dimasukkan dalam Pembukaan yang diterima pada tanggal 18-8-1945, dan Pembukaan itu adalah jiwa UUD 1945. Tidak ada jiwa yang lain. Kalau dikatakan oleh sementara pihak, bahwa Piagam Jakarta ‘menjiwai’ UUD dan bukan Pembukaan yang menjiwainya, itu dapat menimbulkan arti, bahwa justru tujuh kata yang telah dicoret itulah yang ‘menjiwai’ UUD ’45. Jadi hal itu haras ditolak.” Demikian antara lain alasan-alasan kalangan Kristen/Katolik.


DEKRIT PRESIDEN 5 JULY 1959

Sesudah kembali ke UUD ’45 melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Berakhirlah peran DPR pilihan rakyat (Pemilu 1955) dan berakhir pula demokrasi parlementer. Bung Karno berubah dari seorang demokrat menjadi diktatur. Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala batu!

Terjadilah proses Nasakomisasi di seluruh bidang di bawah Panji-panji Revolusi “yang belum selesai”. PKI mendapatkan ruang bergerak yang sangat terbuka untuk memainkan peran menentukan di panggung politik nasional. Situasi ini baru berakhir dengan terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segala akibat-akibatnya.

Jika di masa 1959-1965 Orde Lama Soekarno memaksakan Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Paradigma Revolusi, U.U. Subversi, dll, sebaliknya Soeharto meneruskan dengan kemasan baru: Demokrasi Pancasila, P4, Asas Tunggal, PMP, Aliran Kepercayaan, memperkokoh Dwifungsi ABRI (militerisasi di segala bidang kehidupan) plus U.U. Subversi, selama 32 tahun pemerintahannya. Empat pilar Orde Baru : ABRI, Golkar, Birokrasi (Korpri), Konglomerat, menopang pemerintahannya yang repressif. Pemilu yang penuh rekayasa melanggengkan kekuasaannya.

Umat Islam dimarginalkan melalui tahapan: de-ideologisasi (pemaksaan asas tunggal Pancasila); de-politisasi (konsep massa mengambang/floating mass); sekularisasi (antara lain berbagai kebijakan dan konsep RUU yang sangat mengabaikan agama); akhirnya bermuara pada: de-Islamisasi.

Sosok Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Bakin pada 1970-an memainkan peran utama di panggung pertarungan politik nasional. Bersaing dengan perwira-perwira tinggi lainnya Ali Murtopo menjadi “bintang” di dukung oleh institusi strategis sebagai think-tank yakni CSIS yang pada masa itu di dominasi oleh intelektual Katolik dari ordo Jesuit yang sangat anti Islam.

Berbagai jebakan sebagai bagian dari skenario (operasi-operasi) intelijen digelar untuk kemudiannya mereka yang dilibatkan dikorbankan. Komando Jihad, Woyla, Cicendo, Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok dan lain-lain tidak terlepas dari rekayasa intelijen. Beberapa tokoh ex D.I. (Darul Islam) Jawa Barat dirangkul dan diberi berbagai fasilitas. Ada yang diberi pom bensin, perkebunan teh, ada yang diangkat sebagai deputi kerohanian Bakin. Namun sesudah itu satu persatu diringkus dijebloskan kedalam penjara dengan berbagai tuduhan. Semua tuduhan itu fitnah. Kalangan intelijen mempunyai permanent issue antara lain: ekstrim kanan. Untuk menunjukkan kebenaran adanya kelompok ekstrim kanan, direkayasa berbagai peristiwa. Padahal semua itu bagaikan “hujan buatan” (rekayasa intelijen).

Di akhir periode pemerintahannya ada indikasi Soeharto ingin memperbaiki hubungan dengan ummat Islam dimulai dari berdirinya ICMI pada 1990, U.U. Peradilan Agama, U.U. Sistem Pendidikan Nasional (1989), Bank Muamalat dan kebijakan politik lainnya.

Namun prahara Krisis moneter menjadi awal malapetaka, berkembang menjadi krisis ekonomi, menyusul krisis politik dan berakhir dengan krisis kepemimpinan nasional. Akhirnya tekanan dahsyat demonstrasi mahasiswa yang menginginkan reformasi menumbangkan pemerintahan Soeharto sebagaimana tumbangnya pemerintahan Soekarno. Selanjutnya berturut-turut tampil Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY.

Dari perjalanan panjang bangsa ini mampukah kita mengambil hikmah dari sejarah? Menempatkan Islam dan Ummat Islam dalam posisi yang bermartabat? Ataukah kita akan terperosok di lubang yang sama berkali-kali?

Wallahu a’lam.

sumber : CD pakdenono

7 Tanggapan

  1. sebaiknya sejarah ini di publikasikan lebih banyak lagi

  2. politik itu tetap politik,gan.
    dari dulu ampe skarang ye tetep politik,gan.
    ente tau ndiri lah sebagus2nye agaama itu tergantung ame umatnye.
    sebagus2nye sistem trgantung orang2nye.
    buktinye, di arab sono tkw kite masih banyak yg dianiaya.
    di afganistan dari dulu perang melulu,iran,irak,pakistan, lebanon,en meni mor ga penah aman, ampe2 turki tuh pngen gabung ma eropa gara2 d timur tengah bnyak teroris yg sok suci ngatas namain jihad fii sabililah.
    krjaanya ribut mbrondongin peluru kyak popcorn aje yeee 🙂
    eeeeeeee……malah si teroris2 itu nglebarin sayap mbodohin orang2 indon buat ikutan jihad atas nama politik.
    islam sih emang agama nyang bner tp kalo umatnye bnyak yg tega mbunuh en ahirnya ngorbanin orang2 yg gatau ape2 apa itu bs dikatain bener? bner mnurut ente kali ye, gan?hehehe…
    maaf ye gan, disamping kite nglaksanain printah agama, sbelum nyrocos sok suci kite juga harus ngliyat ke dlm diri kite, kite ini dah berbuat apa aja buat bangsa n negara. apa sih pentingnye ngributin ideologi?
    nyang pnting kan pengendalian diri masing2.
    ngapain blajar agama jauh2 kalo benci,prasangka buruk,
    en dendam masih ada d hati?
    islam kan agama damai dan mulia yg penuh kata “maaf”
    harusnye kite ga usah mikirin masa lalu donk..
    nyang pnting Indon hrs brsatoe
    Bhinneka Tunggal Ika
    brbeda2 tapi tetep satu
    bukannya gitu kan,gan?

  3. buat abu, saya yakin setelah membaca k0men anda,bahwa anda termasuk orang2 yang mengalami dem0ralisasi,,,bgst bt u

  4. Abu: parah kamu… Justru kita tuh seharusnya banyak2 baca sejarah…

  5. KEEP UPLOAD THIS CONTENT,,,,,,,,,!!!…FOR BETTER FUTURE

  6. benar mas kita harus baca sejarah. kalo bisa dari berbagai sumber termasuk dari negeri belanda sana. agar sebenarnya perlawanan terhadap belanda yang dilakukan pahlawan itu latarbelakang n tujuannya diketahui. sayang sekali usaha para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan namun negara yang dihasilkan kok kayak gini. orang bener dipenjara orang bebas bebas belanja.

  7. untuk saudara sebangsa ku abu..

    kenapa yang anda sebut sebagai teroris hanya umat islam saja? bagaimana dengan gerakan kristus di poso yang di membantai ribuan umat islam, kenapa mereka tidak di sebut sebagai teroris oleh pemerintah? bagaimana dengan OPM yang menghabisi nyawa nyawa imam masji, polisi, dan TNI apa kah mereka di sebut sebagai teroris? apakah ini adil bagi kami yang berjuang demi tegak nya syariat islam di indonesia di sebut sebut sebagai teroris? negara yang paling tolerir adalah negara islam bung, anda liat di prancis pemerintah nya melarang umat muslim untuk berjilbab, anda liat kembali negara negara lain bung!! uamat islam di negara ini sudah sangat sabar dengan tingkah laku kaum sekuler yang se enak enak nya saja membuat kebijakan biadab.

Tinggalkan komentar