20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional


X-Files : Harkitnas

Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908
sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda,
sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti
agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya
merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena
organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo
(BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang
penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Kongres Pertama
Budi Utomo

Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah
Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak
pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap
sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan yang teramat nyata.

Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita.
Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz
selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional
20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu
tanpa memahami esensi di balik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah
mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelum
mengamalkan
), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara
sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas
(1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang
cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin
seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum
(kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu
yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya
kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.

Pendukung Penjajahan Belanda

Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas
meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua
Majelis Syuro Syarikat Islam
kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam
amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan
Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa
” karya si pengirim. Di
halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk
Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!
” Di bawah tanda
tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun
pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan
antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin
terjadinya. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa
ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945,
topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang
Boedhi Oetomo
.

BO tidak memiliki andil sedikit pun
unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji
Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas
Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu
gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.

BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya
orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja
tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa
kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin
oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap
pemerintah kolonial Belanda
. BO pertama kali diketuai oleh Raden T.
Tirtokusumo
, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang
memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo
Notodirodjo
dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta yang digaji
oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran
dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.

“Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran
berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana
memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan
Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan
Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH.
Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi
untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura
secara harmonis
.” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama
sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang
Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging
berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…
Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam
gelombang kesulitan.

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah
asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam
Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul
lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu
Punya Kiblat!
” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak
ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah
perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan
chauvinisme
sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah
mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr.
Cipto Mangunkusumo
, sehingga keduanya hengkang dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan.
Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar,
ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Lodge
Mataram
sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan
cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.

Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason
Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia
1764-1962”
(Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan
bagi anggota Mason Indonesia.

Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama
di Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan
perbandinganya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai
bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada
tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908.

Bagian II
Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa
organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak
kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan
nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan
bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua
mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr.
Cipto Mangunkusumo
, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan
Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal
16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua
umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH.
Firdaus AN.Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga
hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya
pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis.
Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam.
Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku
seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan
Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari
Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka
di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:

Perbandingan SI vs
BO

Keterangan


SI

BO
Tujuan SI bertujuan
Islam Raya dan Indonesia Raya,
BO bertujuan
menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal
2).
Sifat SI bersifat
nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,
BO besifat
kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,
Bahasa SI berbahasa
Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia,
BO berbahasa
Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda
Sikap Terhadap Belanda SI bersikap
non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda,
BO bersikap
menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar
tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial
Belanda,
Sikap Terhadap Agama SI membela
Islam dan memperjuangkan kebenarannya,
BO bersikap
anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan
Dr. Radjiman)
Perjuangan Kemerdekaan SI
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati
pintu gerbang kemerdekaan,
BO tidak
pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri
tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu
gerbang kemerdekaan,
Korban Perjuangan Anggota SI
berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak
anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,
Anggota BO
tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke
Digul,
Kerakyatan SI bersifat
kerakyatan dan kebangsaan,
BO bersifat
feodal dan keningratan,
Melawan Arus SI berjuang
melawan arus penjajahan,
BO
menurutkan kemauan arus penjajahan,
Kelahiran SI (SDI)
lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,
BO baru
lahir pada 20 Mei 1908,

Seharusnya 16 OktoberHari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap
tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan
tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan
Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20
Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal
ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya
khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga
khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat
bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka
sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga
menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari
besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari
Kebangkitan Nasional”. (Tamat/Rizki Ridyasmara/eramuslim)

sumber : http://swaramuslim.net

3 Tanggapan

  1. ck..ck..ck..ck
    berarti kita selama ini salah ya, tapi kok nggak dibenerin sih, disekolahan juga masih diajarin.
    masak kita belajar sejarah yang salah
    gimana masa depan bangsa ini?

  2. disekolahan kita juga masih diajarin tentang pithecantrophus ( salah nggak nulisnya ), tentang teori darwin yang nyata nyata salah. Tapi teteeep aja dimasukin ke kurikulum, salah siapa coba
    kita itu dari dulu emang selalu dicekokin sejarah yang salah

  3. Dasar gak ngerti sejarah, asbun doang!!!

Tinggalkan komentar